Kampung Dapur 12 Batam, Tonggak Sejarah Eksport Arang Kayu Bakau ke Singapura

Kampung Tua Dapur 12 yang berada di Kelurahan Sei Pelunggut, Kecamatan Sagulung.

TerasBatam.id: Kayu Arang yang berasal dari kayu bakau sejak dahulu terkenal memiliki kualitas yang premium untuk Teknik memasak dengan cara grilling atau memanggang. Arang kayu bakau asal Batam sudah lama memasok kebutuhan arang bagi warga Singapura sebelum era konfrontasi dahulu.

Adalah Kampung Tua Dapur 12 yang berada di Kelurahan Sei Pelunggut, Kecamatan Sagulung menjadi tonggak sejarah bahwa tempat itu pernah berperan cukup penting untuk memasok kebutuhan arang kayu bakau ke negeri jiran itu. Nama Dapur 12 terinspirasi dari kegiatan mengolah kayu bakau menjadi arang dalam sebuah tungku raksasa berukuran tinggi 5 meter dengan luas sekitar 25 meter, tungku tersebut dikenal dengan Dapur yang berjumlah 12 untuk memasak kayu bakau hingga menjadi arang.

Salah seorang Tokoh Masyarakat di Kampung Tua Dapur 12 Jaar bertutur mengenai asal muasal nama Kampung Tua Dapur 12.

“Kalau nama aslinya itu dulu Kampung Telok Atok Itam. Karena Atok Itam ini paling besar dan paling tua, orang disini sepakat namanya dipakai untuk menamai kampung ini, sebelum akhirnya dikenal sebagai Dapur 12,” kata Jaar yang merupakan salah seorang cucu dari Atok Itam.

Menurut Jaar yang mengaku umurnya lebih dari 70 tahun, dahulunya kampung tersebut hanya terdapat 7 rumah, sebanyak 6 rumah dihuni oleh suku melayu dan satu rumah oleh seorang Chinese.

Orang-orang melayu yang tinggal disana, karena berhadapan dengan lautan mereka menggantungkan hidup sebagai nelayan dengan mencari ikan di laut yang ada di depan rumah mereka.

Sedangkan orang Chinese yang tinggal disana tidak memiliki pekerjaan yang tetap, namun tidak ikut melaut sebagaimana pekerjaan orang-orang melayu disana.

“sampai pada suatu hari dia minta izin ke Atok Itam untuk membuat Dapur Arang, karena disini masih banyak kayu bakau yang jadi bahan baku untuk arang itu,” kata Jaar yang masih memiliki hubungan dengan Atok Itam.

Selanjutnya orang Chinese tersebut membuat Dapur Arang hingga 12 buah, berbentuk tungku dari tanah, seperti Candi, berukuran tinggi sekitar 5 meter dengan luas sebesar 25 meter. Dapur Arang tersebut memasak kayu bakau hingga kapasitas 30 ton.

“hasilnya dijual ke Singapura,” kata Jaar.

Menurut Jaar, setelah dapur tersebut dibangun, para pekerjanya kebanyakan dari luar daerah, salah satunya dari Suku Buton. Orang-orang tersebut bekerja menggunakan perahu dari tempat asalnya. Setelah mendapatkan hasil, dalam satu sampai dua bulan bekerja, mereka kembali ke kampung halamannya.

“Di sini itu dulu orang jual arangnya itu ke Singapore, banyak orang-orang kita Buton ini bekerja di sini. Setelah orang itu dapat upah 50 dolar (Singapore) sampai 100 dolar mereka pulang ke kampungnya. Tapi lama kelamaan mereka mulai ada yang menetap di sini, menikah dan punya keluarga di sini,” kata Jaar.

Setelah beroperasinya dapur arang yang berjumlah dua belas tersebut, akhirnya orang lebih mengenal tempat tersebut dengan sebutan Dapur 12 dan nama Telok Atok Itam mulai tidak dikenal orang.

“Dapur 12 pantai lebih tepatnya, kalau sebut Dapur 12 aja, nanti orang taunya di kavling sana. Padahal Dapur 12 asli itu ada di ujung sini,” kata Jaar.

Ia menambahkan, kalau dapur yang berjumlah dua belas buah tersebut sebenarnya sudah tenggelam atau sudah hancur. Namun, pernah coba dibangun kembali sebanyak enam buah dengan ukuran lebih besar.

Lama tak beroperasi dapur itu pun dihancurkan warga, dan tersisa dua buah saja.

“Tinggal bangkai aja lagi, mau dibakar takut roboh,” kata Jaar sambil tertawa.

Dapur arang yang tersisa hanya dua buah tersebut berada di tengah pemukiman warga. Terdapat rumah warga di samping kiri dan kanannya. Di depannya berhadapan langsung dengan laut, jalan dan rumah warga, dan lahan kosong di depannya diperuntukan menjadi tempat parkir kendaraan. Di atasnya terdapat sebuah masjid.

Kini Dapur 12 didiami 300 kepala keluarga (KK). Mayoritas masyarakat Dapur 12 adalah Suku Melayu dan Suku Buton.

Samyong dan Arang di Dapur 12

Dikutip dari Buku Mozaik Batam di Bumi Segantang Lada yang ditulis oleh H Mhd Alfan Suheiri dijelaskan jika hutan bakau yang tumbuh sumbur di sepanjang pesisir Batam menjadi berkah bagi penduduk tempatan.

Pada masa lampau penduduk Batam yang disebut masyarakat Melayu mencukupi kebutuhannya dengan menangkap ikan. Selain itu mereka berdagang, mencari kayu, membuat tembikar, dan sebagainya.

Sementara orang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan nama Cina Kebun sebagian besar adalah imigran dari dataran Tiongkok yang menetap di pedalaman hutan dan membuka perkebunan karet, gambir, hingga merica.

Sekitar tahun 1930-an, ada orang China yang membuka usaha dapur arang dan bekerja sama dengan orang Melayu yang mencari kayu bakau untuk pembuatan arang.

Selain sebagai nelayan, sebagian penduduk menebangi hutan kayu bakau dan mengolah kayunya menjadi arang. Kayu arang olahan penduduk Batam bernilai ekonomis tinggi dan sangat laku di Singapura. Akhirnya kayu arang tersebut menjadi salah satu komiditas yang dijual ke Singapura. Penjualan arang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Oleh warga Singapura, arang digunakan untuk bahan bakan saat memasak. Biasanya arang yang dibuat oleh warga Batam dibawa oleh toke arang dengan menggunakan kapal kayu. Bahkan sangking larisnya, dalam sehari toke arang bisa bolak-balik Batam-Singapura.

Dari cerita tutur masyarakat sekitar, di Kampung Tanjung Atok Itam ada 12 dapur arang berukuran besar. Namun saat ini hanya ada beberapa dapur arang yang tersisa. Satu dapur arang berukuran besar dengan tinggi limer meter dan luas lebih dari 25 meter. Satu dapur arang bisa menghasilkan 30 ton arang dengan pembakaran antara 1 bulan hingga 1,5 bulan.

Dua dapur arang dibangun oleh ayah Samyong, seorang tauke arang yang berasal dari Singapura. Tony A Samyong (Sam Hiong) adalah salah seorang pejuang pada zaman konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.

Saat Samyong masih kecil, ia dan ayahnya hijrah dari Singapura ke Batam dan mendirikan usaha dapur arang yang diteruskan oleh Samyong. Diceritakan saat Samyong berusia 12 tahun di tahun 1947, ia sudah terjun membuat arang membantu ayahnya.

Di masa kejayaannya, satu dapur arang bisa menghasilkan hampir 30 ton arang yang dijual ke Singapura dengan mata uang dollar Singapura. Selain di Dapur 12, keluarga Samyong juga memiliki dapur arang di Seijodoh dan menjadi satu-satunya usaha dapur arang di lokasi tersebut. Kala itu, masyarakat melayu di Seijodoh masih bekerja sebagai nelayan dan sebagian berkebun.

Soal cerita Samyong ini masih teringat dengan jelas oleh beberapa orang di sekitar Kawasan Tanjung Sengkuang, ada satu bukit yang dulu dikenal dengan nama Samyong, kemudian lokasi yang kini berdiri oleh Aston Batam dahulunya terdapat sebuah diskotik dan karaoke yang bernama Maxim yang dimiliki oleh Samyong. (Muhammad Islahuddin)