TERASBATAM.id: Politisi muda Partai Nasdem, Jelvin Tan, menarik perhatian banyak kalangan setelah dipercaya memimpin Komisi I DPRD Kota Batam yang membidangi Hukum dan Pemerintahan. Bukan hanya Jelvin, Hendra Asman, juga politisi muda berdarah Tionghoa yang kini menduduki posisi strategis sebagai Wakil Ketua III DPRD Kota Batam dari Partai Golkar.
Fenomena ini menunjukkan perubahan signifikan dalam lanskap politik di Batam serta Provinsi Kepulauan Riau secara umum, di mana generasi muda Tionghoa kini berperan aktif di kancah politik. Anak-anak muda Tionghoa tidak lagi hanya focus di bidang diluar pemerintahan maupun bisnis semata, kini sosok seperti Jelvin Tan maupun Hendra Asman mulai unjuk peran di bidang politik yang secara jangka panjang akan mengubah lanskap politik dan sosial di wilayah ini.
Jelvin, yang baru pertama kali duduk sebagai anggota DPRD, merasa bersyukur atas kepercayaan yang diberikan.
“Suatu kehormatan bagi saya bisa menjadi Ketua Komisi,” ujar Jelvin. Ia bertekad untuk memprioritaskan aspirasi masyarakat dan memajukan bangsa.
Menurutnya, isu Suku Agama, Ras dan Antar Golongan atau SARA sudah tidak relevan lagi untuk dipersoalkan. “Yang terpenting adalah sebagai Warga Negara Indonesia yang cinta terhadap tanah air pasti bertujuan untuk memajukan bangsa,” tegasnya.
Jelvin Tan sendiri meneruskan karier ayahnya Lik Khai di DPRD Kota Batam yang duduk pada periode 2019-2024. Lik Khai melanjutkan kontribusinya di DPRD Provinsi Kepri.
Situasi ini berbeda jauh dengan era Orde Baru, di mana etnis Tionghoa menghadapi berbagai pembatasan, termasuk dalam bidang budaya dan politik. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan tersebut melalui Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tentang kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres ini mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Keppres Nomor 6 Tahun 2000 menghapus aturan diskriminasi terhadap warga Tionghoa, seperti yang berlaku selama 32 tahun di era kepemimpinan Soeharto. Aturan tersebut melarang warga Tionghoa melakukan kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menghapus aturan diskriminasi tersebut. Penggalan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa tidak memerlukan izin khusus.
Keputusan tersebut tersebut membuka jalan bagi partisipasi lebih luas etnis Tionghoa di berbagai bidang. Keputusan tersebut sebagai milestone kebangkitan etnis Tionghoa dalam berekspresi secara terbuka termasuk di bidang politik. Walaupun pada faktanya dalam Sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia, sejumlah tokoh-tokoh militer dan politik dari Etnis Tionghoa juga cukup diperhitungkan, salah satunya di Angkatan Laut ada nama Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie atau yang dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (9 Maret 1911 – 27 Agustus 1988) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Bahkan TNI AL telah menabalkan salah satu kapal perang Republik Indonesia dengan nama KRI Jhon Lie 358.
Jelvin sendiri telah melakukan persiapan matang sebelum terjun ke dunia politik. Ia aktif berinteraksi dengan masyarakat di daerah pemilihannya dan memberikan bantuan hukum serta pengurusan dokumen administrasi.
“Yang bisa saya bantu, pasti saya bantu,” kata Jelvin yang lahir di Batam pada 21 Juni 1996 lalu.
Walaupun jika dirunut ke belakang sejak DPRD Kota Batam pertama kali berdiri pada tahun 2001 lalu sejumlah nama etnis Tionghoa juga telah ada, seperti Saptono Mustakim dari Partai Indonesia Baru (PIB) dan adiknya Asmin Patros dari Golkar, keduanya merupakan paman dari Hendra Asman yang kini duduk sebagai Wakil Ketua III DPRD Batam.
Selanjutnya pada periode berikutnya ada nama Yohanes yang duduk sebagai anggota DPRD Batam periode 2009-2014 dari Partai Indonesia Baru (PIB). Yohanes aktif di dunia politik setelah malang melintang di dunia bisnis.
Bahkan di kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili Provinsi Kepri sejak 2014 ada nama Haripinto, demikian juga di kursi DPR RI ada nama Cen Sui Lan dari Partai Golkar, walaupun merupakan anggota DPR RI dari proses Pergantian Antar Waktu (PAW) namun jumlah suara yang diraihnya sangat signifikan.
Pengamat Sosial tentang Kota Batam Novrizal Sadewa yang juga Dosen Universitas Negeri Padang (UNP) kepada www.terasbatam.id menyebutkan bahwa fenomena hadirnya tokoh-tokoh muda Tionghoa dalam kancah politik di Batam sebenarnya hanya masalah waktu saja.
“munculnya anak-anak muda Tionghoa ini hanya masalah waktu saja, karena pada dasarnya keberadaan mereka sendiri sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Bahkan di pulau-pulau kecil sekitar Batam, etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat signifikan di tempat tersebut,” kata Novrizal.
Menurut Novrizal, dari sisi kapasitas dan kapabilitas etnis Tionghoa sudah cukup mumpumi, dibandingkan situasi pada era orde baru yang sangat membatasi gerak aktif mereka di kancah politik, kini di era reformasi semuanya memiliki peran dan tanggungjawab yang sama.
“sekali lagi masalah waktu kedepan saya kira bukan saja di legislatif tetapi di eksekutif juga akan menjadi ruang kontribusi mereka di politik. Kemampuan finansial mereka juga cukup besar,” kata Novrizal.
Novrizal juga menggarisbawahi bahwa peran politik etnis Tionghoa di Indonesia sudah terbuka lebar sejak era Reformasi, di banyak daerah kontribusi mereka telah cukup besar di Legislatif maupun di pemerintahan.