Terasbatam.id: Hari ini tepat 41 tahun silam Pesawat DC 9 milik maskapai Garuda Indonesia dengan sebutan “Woyla” dibajak diatas udara antara Palembang – Medan. Operasi pembebasan yang dilakukan Indonesia secara militer di Bandara Udara Don Mueang terhadap pesawat Garuda tersebut salah satu bukti bagaimana Presiden Indonesia ke 2 Soeharto begitu berkharisma dimata pemimpin Thailand sehingga mengizinkan operasi militer negara lain di dalam yurisdiksi negaranya.
Pesawat DC 9 milik maskapai Garuda Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Woyla” dibajak sekelompok orang yang mengaku sebagai Komando Jihad. Pembajakan dilakukan 28 Maret 1981 ketika pesawat memasuki wilayah udara antara Palembang-Medan sekitar pukul 10.10 WIB.
Pesawat Garuda Indonesia “Woyla” saat itu dalam perjalanan Jakarta-Medan. Namun, akibat adanya aksi pembajakan ini, pesawat diterbangkan hingga ke Malaysia bahkan Thailand. Dikutip dari arsip Harian Kompas 29 Maret 1981, pesawat dengan nomor penerbangan GA 206 itu membawa 48 penumpang dan 5 awak di dalam
Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) yang menangani pembajakan tersebut mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia. “Pesawat dibajak oleh enam orang yang dapat berbahasa Indonesia. Mereka bersenjatakan pistol dan beberapa buah granat,” ujar Menhankam Muhammad Jusuf dikutip dari Harian Kompas. Dephankam kemudian menugaskan Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo untuk menangani pembajakan pesawat itu. Beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa pembajak berjumlah lima orang. Sementara itu ada 48 penumpang di dalam pesawat tersebut. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Diberitakan Harian Kompas, 31 Maret 1981, tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak yang berjumlah 5 orang tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.
Operasi pembebasan dilakukan pada 31 Maret 1981 atau hari keempat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Disebutkan, operasi penyelamatan itu hanya berlangsung dalam waktu tiga menit saja.
Arsip Harian Kompas, 1 April 1981 memberitakan, operasi itu sudah disiapkan dengan matang di Jakarta sejak peristiwa pembajakan itu terjadi. Operasi berjalan saat Pemerintah Thailand mengizinkan pasukan komando Indonesia beraksi.
Melalui pengamatan wartawan Kompas, Dudi Sudibyo di lokasi pada saat itu, tanda operasi pembebasan belum terlihat pada Senin (30/3/1981) malam.
Suasana di sekitar pesawat masih cenderung sepi. Senin malam, pukul 21.00 waktu setempat, ada sebuah mobil katering mendekat setelah mendapat kode lampu dari pesawat. Adapun kode itu merupakan sinyal dari pembajak agar permintaan mereka menyangkut makanan, minuman, bahan bakar dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi.
Kemudian, tampak keluar tiga orang pria yang tidak memakai baju membawa kantong-kantong plastik yang mungkin berisi makanan dan minuman. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi, semuanya kembali menjadi sunyi senyap.
Keterangan resmi pemerintah mengungkap semua nama pembajak tewas. Namun, diketahui bahwa pimpinan pembajak adalah Imran bin Mubammad Zein. Ia berhasil ditangkap dan kemudian dihukum mati pada 28 Maret 1983.
Pemerintah juga menyebutkan pilot dan seorang pasukan komando mengalami luka-luka akibat terkena tembakan dari pembajak. Selang beberapa hari, pilot bernama Kapten Herman Rante dan anggota pasukan bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi tersebut. Keduanya menderita luka tembak, dan gagal diselamatkan meski sudah dibawa ke rumah sakit.
Mengapa Thailand Mengizinkan Operasi Militer Negara Lain di Negaranya?
Saat negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Thailand terkait bagaimana operasi pembebasan dilakukan hingga kini masih menyisikan beberapa pertanyaan. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Jenderal Purn Yoga Soegomo dalam buku memoarnya bercerita soal proses negosiasi yang alot antaranya dirinya dengan para pembajak dan Pemerintah Thailand.
Pimpinan negosiasi saat itu dipercayakan kepada Yoga Soegomo, sementara itu Mayjen LB Moerdani memiliki peran yang signifikan dalam proses tersebut, Presiden Soeharto sendiri memberikan kesan bahwa kepercayaan penuh darinya ada ditangan LB Moerdani.
Saat Yoga Soegomo menghubungi pak Harto melalui telepon pada menit-menit menjelang operasi pembebasan pesawat, telepon Yoga Soegomo yang diterima oleh ajudan tidak diterima langsung oleh pak Harto begitu mengetahui bahwa telepon tersebut dari Yoga.
“Bilang saja Moerdani sudah tahu,” demikian kata pak Harto dari balik pintu kamarnya kepada Ajudan yang ingin menyerahkan telepon.
Yoga dalam bukunya juga bercerita bagaimana awalnya Pemerintah Thailand melalui Perdana Menteri Prem Tinsulanonda menolak ketika Indonesia akan melakukan operasi militer melalui Komando Pasukan Khusus di Bandara Don Mueang.
Namun penolakan tersebut luntur dan berubah menjadi izin ketika akhirnya Presiden Soeharto langsung berbicara melalui telepon kepada PM Prem Tinsulanonda dan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej ketika itu.
Namun tidak diketahui apa isi pembicaraan antara Presiden Soeharto dengan PM dan Raja Thailand tersebut. Tetapi satu bukti bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa Presiden Soeharto ketika itu salah satu pemimpin di Asia Tenggara yang sangat dihormati oleh negara-negara tetangga. (Sumber: www.kompas.com/Buku Memoar Jenderal Yoga Soegomo/Buku Memoar Jenderal LB Moerdani)