TERASBATAM.ID: Ternyata di Kepri saat ini telah bertugas 22 Jenderal dari TNI dan Polri, paling tinggi Laksamana Madya atau Jenderal berbintang tiga sebagai Komandan Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan I) yang berkedudukan di Tanjungpinang. Kehadiran banyak jenderal di wilayah investasi seperti Batam dan Bintan seperti sebuah dilema antara menarik minat investor untuk berinvestasi atau menjaga kedaulatan negara.
TNI Angkatan Laut akan menggeser Markas Komando Armada I yang dipimpin Laksamana bintang dua dari Jakarta ke pulau Bintan. Kehadiran instalasi militer yang massif dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah Batam, Bintan dan Natuna menimbulkan kesan kedua wilayah dalam kondisi yang tidak stabil dan menjadi kontradiktif dengan desain kedua daerah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus untuk menggaet investasi asing.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memberi restu kepada Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono untuk menggeser Markas Komando Armada I dari Jakarta ke Kepri dalam waktu dekat ini dalam rangka kehadiran TNI AL dalam mengantisipasi kerawanan di Laut China Selatan (berdasarkan tayangan youtube Panglima TNI Andika Perkasa, 13 Februari 2022 lalu).
Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad pada 23 Februari 2022 lalu mengatakan, bahwa pembentukan instalasi militer TNI maupun Polri di wilayah Kepulauan Riau merupakan kewenangan pemerintah pusat.
“kita di daerah menyambut baik setiap ada institusi baru yang skalanya lebih besar di Kepri,” kata Ansar
Menurut Ansar, pemindahaan Koarmada I dari Jakarta ke Kepri sudah merupakan pertimbangan dari sisi pertahanan dan keamanan negara.
“Kalau alasan kedaulatan negara tentu kita mesti dukung,” kata Ansar.
Ansar juga meyakini bahwa kehadiran instalasi militer dengan sejumlah perwira tinggi-nya tidak akan bertentangan dengan semangat pemerintah mendesain Kawasan ekonomi khusus (KEK) di Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
“saya kira tetap sejalan saja,” kata Ansar.
Sementara itu Akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Zamzami A Karim mengatakan, bahwa kehadiran puluhan jenderal TNI dan Polri di Batam dan Bintan tidak sepenuhnya dapat disebut untuk menyikapi eskalasi di Laut China Selatan di waktu mendatang.
“Instalasi militer di Natuna sendiri dari sisi pasukan saya dengar jumlah yang dipersiapkan telah mencapai 10.000 orang. Jika dikendalikan dari Batam atau Bintan saya kira kurang tepat, mengapa tidak langsung disana jika pertimbangannya masalah Laut China Selatan,” kata Zamzami.
Menurut Zamzami, kehadiran instalasi militer yang massif dalam beberapa tahun terakhir ini di Batam dan Bintan menimbulkan kesan bahwa kedua wilayah dalam kondisi yang tidak stabil sehingga perlu puluhan perwira tinggi bertugas disana.
“Ini menjadi kontradiktif dengan semangat membangun KEK di BBK, satu sisi kita meyakinkan investor asing untuk berinvestasi, namun disisi lain kita seperti menunjukkan bahwa keamanan wilayah ini sangat rawan,” kata Zamzami.
Menurut Zamzami, dirinya saat bertemu dengan Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut IV Tanjungpinang mendapatkan informasi bahwa Mako Lantamal IV Tanjungpinang akan digeser ke Batam, sedangkan Mako IV akan dijadikan Mako Koarmada I yang dipimpin oleh perwira tinggi bintang dua.
“saya kira masih ada kesempatan pada Presiden Joko Widodo untuk mengubah desain pertahanan ini, tidak menempatkan markas-markas militer dalam wilayah investasi, karena ekses yang ditimbulkannya juga tidak kecil,” kata Zamzami.
Zamzami mengakui bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur maupun Walikota tidak dapat memberikan masukan terkait masalah pertahanan dan keamanan karena sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana yang diatur dalam UU otonomi daerah.
“suka atau tidak suka, setuju maupun tidak setuju, Kepala Daerah tidak bisa menolak desain pertahanan dan keamanan yang sudah diputuskan pemerintah,” kata Zamzami.
Sementara itu Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Promosi dan Protokol Badan Pengusahaan Batam Ariastuty Sirait mengatakan, kehadiran markas militer di Batam tentunya sudah menjadi pertimbangan khusus pemerintah terhadap eksistensi investasi asing yang telah ada.
“Semua pasti sudah dipikirkan matang matang dengan menimbang batas batas dengan negara negara asing serta kemungkinan ancaman lainnya. Investasi tentunya tetap berjalan dan kita terus mengupayakan perbaikan untuk kemudahan investasi dengan sistem online,” kata Ariastuty.
Ariastuty juga mengatakan, bahwa sejauh ini belum ada complain atau pertanyaan dari investor asing atas kehadiran sejumlah instalasi militer di Batam.
“sejauh ini belum ada investor yang secara khusus bertanya tentang hal itu,” kata Tuty panggilan akrabnya.
Kabag Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Kolonel (P) Wisnu Pramandita, bagi Bakamla sendiri menempatkan Kantor Zona Maritim Barat yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi di Batam karena titik yang dinilai paling strategis atau centre of interest terhadap Selat Malaka, Selat Singapura dan Natuna adalah Batam.
“Menurut saya ekonomi dan keamanan itu seperti dua sisi mata uang, saling mendukung, keamanan dalam rangka menciptakan keamanan wilayah dengan baik maka aktivitas ekonomi berlangsung dengan baik, lancar tidak ada hambatan. Out put Ekonomi itu secara tidak langsung memberikan dampak pada kemampuan pertahanan dan keamanan negara,” kata Wisnu.
Namun Wisnu juga menyebutkan bahwa dalam frame teoritis dari balance power pendapat yang khawatir tentang kehadiran militer bisa masuk akal.
“keberadaan besar disatu tempat secara sudut pandang ekonomi akan berkolaborasi positif, namun dari sisi diplomatis bisa positif bisa negative. Tergantung sudut pandang,” kata Wisnu.