Opini  

Pers “Take Down”, Dilema Pers Indonesia Antara Idealisme dan Cuan

TERASBATAM.ID: Kebebasan pers merupakan pilar fundamental dalam demokrasi. Ia memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi, mengawasi pemerintah, dan menyuarakan pendapat mereka. Di era digital, media siber telah menjadi platform penting untuk menyampaikan berita dan informasi kepada publik. Namun, kebebasan pers di media siber juga dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah praktik “take down” berita secara mendadak tanpa mengacu pada peraturan yang jelas.

“Take down” berita mengacu pada tindakan menghapus atau memblokir berita yang dianggap tidak sesuai atau melanggar aturan. Praktik ini sering dilakukan oleh platform media sosial atau situs berita tanpa proses yang transparan dan akuntabel. Hal ini dapat mengancam kebebasan pers dan hak publik untuk mengakses informasi.

Di Indonesia, Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Media Siber sebagai acuan bagi jurnalis dan platform media siber dalam menjalankan tugasnya. Pedoman ini menekankan pentingnya kebebasan pers dan hak publik untuk mengakses informasi. Namun, pedoman ini tidak secara eksplisit mengatur tentang sanksi praktik “take down” berita.

Berdasarkan Peraturan Dewan Pers tentang PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER yang ditandatangani 3 Februari 2012 oleh 7 Organisasi Wartawan dan Organisasi Pers dan diketahui oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan telah mengatur tata cara proses pencabutan berita di media siber.

Pada butir ke 5 disebutkan secara jelas terkait dengan Pencabutan Berita.

Pencabutan Berita

  1. a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers. b Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut. c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

Namun ketidakjelasan peraturan tersebut masih membuka ruang tentang “take down” berita bagi penyalahgunaan kekuasaan, terutama sanksi kepada media siber yang ujuk-ujuk melakukan take down tanpa proses yang transparan.

Platform media sosial atau situs berita dapat menggunakan alasan yang tidak jelas untuk menghapus berita yang tidak mereka sukai atau yang dianggap mengancam kepentingan mereka atau pihak lain. Hal ini dapat membungkam suara kritis dan membatasi ruang publik untuk diskusi dan pertukaran ide.

Potensi terjadinya “ruang gelap” proses take down itu menimbulkan dugaan liar, yang akhirnya mengarah kepada praktik koruptif oleh media dan tentunya si pemesan “take down”. Hal ini tidak saja merongrong kemerdekaan pers namun juga mengancam idealisme media yang seharusnya dijaga ditengah tantangan keberlangsungannya yang sangat keras.

Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas tentang praktik “take down” berita di media siber. Regulasi ini harus mempertimbangkan prinsip-prinsip kebebasan pers, hak publik untuk mengakses informasi, dan due process. Regulasi ini juga harus memastikan bahwa proses “take down” berita dilakukan secara transparan, akuntabel, dan dengan mempertimbangkan semua pihak yang terkait.

Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat regulasi tentang “take down” berita di media siber:

  • Dewan Pers: Memperkuat Pedoman Media Siber dengan memasukkan aturan yang jelas tentang praktik “take down” berita.
  • Pemerintah: Bekerja sama dengan Dewan Pers dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun regulasi yang tepat tentang “take down” berita.
  • Platform media sosial dan situs berita: Mengembangkan kebijakan internal yang jelas tentang praktik “take down” berita dan memastikan bahwa kebijakan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers dan due process.
  • Masyarakat: Meningkatkan literasi media dan kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi.

Dengan regulasi yang tepat dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat memastikan bahwa media siber tetap menjadi ruang publik yang bebas dan terbuka untuk diskusi dan pertukaran ide. Kebebasan pers di era digital harus dijaga dan dilindungi agar masyarakat dapat mengakses informasi yang akurat dan terpercaya, serta menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut.