TERASBATAM.ID – Pakar dan akademisi dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyoroti perjanjian kerja sama antara Malaysia dan Singapura terkait penyelamatan kapal selam. Meskipun menyambut baik inisiatif tersebut sebagai langkah maju dalam keamanan maritim regional, mereka menyayangkan ketiadaan peran Indonesia dalam pakta strategis ini.
Kesepakatan yang ditandatangani pada Senin (25/8/2025) ini dirancang untuk memperkuat kemampuan Penyelamatan dan Evakuasi Darurat Kapal Selam (Submarine Emergency Escape and Rescue – SMER) di perairan vital seperti Laut China Selatan, Selat Malaka, dan Selat Singapura.

Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Raja Haji, Zamzami A. Karim, menilai kerja sama ini menunjukkan bahwa kedua negara serius mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi di perairan tersebut.
“Mereka ingin kerjasama keamanan bawah laut, saling bertukar informasi intelijen, menyinkronkan prosedur pengamanan, termasuk teknologinya,” ujar Zamzami, Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, perjanjian ini juga merupakan langkah antisipasi politik untuk mengamankan klaim kedaulatan di wilayah dasar laut.
“Sangat disayangkan kalau Indonesia lambat merespons dinamika regional seperti ini,” tambahnya.
Zamzami menduga lambatnya respons Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya konsentrasi TNI pada program prioritas nasional, belum memadainya teknologi keamanan kapal selam, dan belum menjadikan keamanan perbatasan sebagai prioritas utama.

Senada dengan itu, akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Robby Patria, menekankan pentingnya pelibatan Indonesia. Menurutnya, meskipun wilayah perairan kedua negara tidak seluas Indonesia, Indonesia seharusnya dilibatkan.
“Harusnya Indonesia ikut serta karena dekat dengan dua negara, hanya 14 km dari Singapura, sehingga memberikan efek yang kuat bagi pertahanan laut di Selat Malaka dan Laut China Selatan,” kata Robby.
Ia menambahkan, secara strategis, perjanjian tersebut memperkuat kredibilitas Asia Tenggara sebagai pemangku kepentingan keamanan aktif. Hal ini memberikan sinyal kepada kekuatan ekstra-regional bahwa kawasan sedang bersiap untuk menghadapi masa depan di mana aktivitas kapal selam menjadi pusat risiko.
“Kerja sama kapal selam antara Malaysia dan Singapura, tanpa Indonesia, mungkin belum menjadi prioritas karena perbedaan kepentingan strategis dan keamanan,” tutup Robby.


