TerasBatam.id: Almarhum Rumbadi Dalle SH, MH mantan koresponden Majalah dan Koran Tempo untuk wilayah Batam memang telah wafat pada 1 Januari 2019 di Rumah Sakit Elisabeth Baloi, Batam. Namun bagi sahabat-sahabat dekatnya, sosoknya masih melekat, selain dikenal sebagai wartawan senior yang masih turun ke lapangan, gelar Strata 1 dan Magister Hukum yang dirahinya dalam usia diatas usia 50 tahun membuktikan semangatnya menuntut ilmu sangat luar biasa.
Tulisan ini dirancang dan telah rampung pada 10 Mei 2010 lalu atau sembilan tahun sebelum beliau kembali ke pangkuan Illahi. Tulisan ini atas permintaannya dan telah mendapat koreksi darinya, karena direncanakan akan menjadi bagian dari kompilasi tulisan yang dihimpun dari orang-orang yang mengenalnya, kumpulan tulisan tersebut rencananya akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh almarhum, namun manusia hanya bisa berwacana dan berencana, keputusan akhir tetaplah milik sang khalik, hingga almarhum wafat, buku tersebut belum juga terwujud.
Berikut tulisannya:
Rumbadi Dalle, Wartawan Lintas Generasi
Penulis: F Pangestu/wartawan di Batam
Guratan keriput di wajahnya sudah terlihat semakin jelas, sebagian rambutnya pun mulai tampak memutih di seluruh bagian. Namun, lelaki kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, 53 tahun silam ini masih tampak bersemangat jika diajak berbincang. Seperti semangatnya dalam menjalankan profesi wartawan yang telah digelutinya hampir 30 tahun.
“Jadi wartawan adalah panggilan jiwa, pekerjaan wartawan itu sangat mulia. Sebagai wartawan harus serius menjalankan tugasnya, karena pekerjaan ini mengemban misi social control. Pekerjaan apapun bila dikerjakan dengan tekun serta serius maka akan membuahkan hasil positif,” kata Rumbadi Dalle.
Sudah hampir 11 tahun ini Rumbadi Dalle bekerja sebagai wartawan Majalah Tempo, berbagai pengalaman sebagai wartawan telah dirasakannya. Perjuangan untuk menjadi koresponden Majalah Tempo di Batam bukanlah perkara mudah, sebelumnya Rumbadi Dalle telah mengenyam asam garam sebagai wartawan di beberapa media cetak sejak jaman Presiden Soeharto. Ketika itu untuk menjadi wartawan bukan seperti membalikkan telapak tangan seperti saat ini. Kartu Pers ketika itu seperti kartu sakti, dan Rumbadi Dalle pun telah merasakannya.
Persentuhannya dengan bidang jurnalistik pertama kali terjadi pada tahun 1980, ketika itu Rumbadi bekerja di sebuah perusahaan sub contractor (subcon) yang bergerak dibidang perminyakan di Prabumulih sebagai salah seorang staf. Saat itu perusahaan subcon itu tidak membayar uang over time atau upah lembur kepada pekerjanya selama satu tahun. Sebagai salah seorang pekerja dari 60 orang pekerja yang tidak dibayar upah lemburnya, Rumbadi dan kawan-kawan mengadukan hal tersebut kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Palembang.
Awalnya seluruh pekerja solid mendukung laporan itu kepada pemerintah, Rumbadi sebagai salah seorang pentolan mendapat sorotan dari pihak perusahaan. Kemudian satu persatu para pekerja yang lain meninggalkannya, karena mendapat tekanan dari pihak perusahaan. Tetapi dirinya tetap komit memperjuangkan hak-hak yang menjadi miliknya.
“Saya berjuang seorang diri ketika itu, walaupun terjadi intimidasi. Apa yang saya perjuangkan akhirnya dibayarkan, tetapi konsekuensinya saya diberhentikan oleh pihak perusahaan. Dari kejadian itu terbersit di dalam hati saya untuk bekerja saja sebagai seorang wartawan, yang dapat bekerja secara independen dan sesuai dengan hati nuraninya,” kata Rumbadi yang akrab disapa “abangda”, bahkan dikalangan wartawan muda di Batam dirinya juga akrab disapa “abah”.
Selanjutnya sejak peristiwa itu, dirinya mencoba untuk melamar sebagai wartawan di Sumatera Express,satu-satunya koran yang terbit di Sumatera Selatan ketika itu. Tetapi perusahaan pers itu masih dalam keadaan yang belum begitu baik, sehingga lamarannya ditolak karena alasan efesiensi tenaga kerja.
“Saya tidak menyerah, saya datangi kantornya langsung dan bertemu dengan pak Alwi Pandita, pemiliknya ketika itu. Saya ungkapkan perasaan saya bahwa ingin diberi kesempatan menulis di Sumatera Express untuk mengasah bakat menulis yang saya miliki. Akhirnya pak Alwi meminta saya untuk memberikan contoh tulisan yang saya kerjakan sendiri, akhirnya saya diterima untuk menulis secara kontinyu di Sumatera Express. Luar biasa senangnya perasaan saya ,” kata Rumbadi mengenang peristiwa 31 tahun silam itu.
Untuk menopang periuk nasi bersama keluarganya, pekerjaan sebagai penulis di Sumatera Express belum dapat terlalu dihandalkan. Untuk mencukupi keuangan keluarga dirinya bekerja di sebuah perusahaan kontruksi di Lampung, tetapi tetap secara kontinyu mengirimkan laporan-laporannya kepada harian Sumatera Express, persentuhannya dengan bidang jurnalistik pun mulai perlahan-lahan dilaluinya.
Rumbadi dikenal dengan joke-joke segarnya, sehingga siapapun yang berbincang dengan dirinya tidak akan bosan. Itu juga merupakan triknya dalam mendekati narasumber, apalagi para pejabat yang dikenal selalu menjaga jarak dengan wartawan.
Hijrah ke Batam
Setelah enam tahun bekerja di Lampung sebagai Senior Store Keeper di PT Ballast Indonesia Constraction. Perusahaan asal Belanda itu menawarkan kepadanya untuk ikut bergabung dalam proyek pembangunan pelabuhan Cruide Palm Oil (CPO) di Kabil pada tahun 1989. Tawaran itu disambut baik olehnya.
Bersama Suryati, isteri tercinta dan Andre , Yulianti, Verina dan Jerry, keempat putera dan puterinya Rumbadi berangkat ke Batam. Ketika pulau Batam yang dijuluki Pulau Berbentuk Kalajengking atau Scorpion Island itu masih minus mall atau pusat perbelanjaan. Tidak ada Surat Kabar terbitan Batam, TV Lokal yang mengudara dari Batam, yang ada hanya satu radio Ramako, yang kini dikenal dengan Batam FM.
“Kota ini ketika itu sangat sepi tetapi saya melihat prospek ke depan cukup cerah, apalagi setelah Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yuu mendatangani kerjasama ekonomi untuk mengembangkan Batam sebagai kawasan industry yang ditandai dengan pembangunan kawasan Batamindo di Muka Kuning,” kenang Rumbadi.
Pembangunan Batam yang bergerak cepat di bidang ekonomi, social dan politik juga mempengaruhi kehidupan pers lokal. Rumbadi mulai tertarik untuk terjun secara total bekerja di bidang jurnalistik. Banting setir menjadi wartawan pun diputuskannya setelah dirinya mengundurkan diri dari posisi Senior Supervisor Production Control PT Giken Precision Indonesia. Mengundurkan diri dari perusahaan elektronik asal Jepang itu bukanlah hal yang mudah, karena berbagai pengalaman telah dilaluinya, bermitra kerja dengan atasan langsung asal Jepang telah dijalaninya hingga 3 tahun, bahkan Rumbadi juga dikirim ke negeri sakura itu oleh PT Giken Precision Indonesia selama 1 bulan untuk Program Repair Video AKAI Training di Saitama, Jepang.
“Setelah mengundurkan diri, saya akhirnya berkecimpung penuh di dunia jurnalistik dengan bekerja sebagai wartawan untuk Harian Bukit Barisan, terbitan Medan, Sumatera Utara. Suka duka sebagai wartawan saya lalui dan saya nikmati hingga bisa bertahan hingga saat ini,” kata Rumbadi yang selalu tampak segar dan berpenampilan energik.
Pengalaman mengejar narasumber yang tidak terlupakan olehnya, ketika bersama Marganas Nainggolan (salah seorang perintis Harian Batam Pos, koran pertama yang terbit di Batam) memburu salah seorang komandan dari salah satu kesatuan militer yang anak buahnya terluka parah akibat bacokan senjata tajam yang dilakukan oleh tekong TKI. Peristiwa itu sangat menghebohkan Batam, sang komandan cukup sulit ditemui wartawan, namun Rumbadi dan Marganas memburunya sampai ketemu walau hujan gerimis dan petir silih berganti mewarnai Batam ketika itu. Dengan bermodal sepeda motor GL Pro miliknya, Rumbadi dan Marganas berboncengan memburu narasumber itu ke markasnya.
“Untuk menemui narasumber itu sangat sulit, tetapi pengalaman itu sangat memiliki arti penting bagi saya pribadi, bagaimana wartawan tidak boleh cepat menyerah dalam memburu narasumbernya,” kata Rumbadi.
Hasil wawancara dengan narasumber tersebut akhirnya hanya dimiliki oleh Rumbadi dan Marganas, dan hasilnya cukup menjadi jawaban atas peristiwa yang sebenarnya terjadi terkait insiden pembacokan tersebut. Pengalaman itu sangat berarti baginya, sebagai titik tolak bagaimana perjuangan seorang wartawan dalam memburu narasumber.
Kini, di usianya yang sudah sangat matang tersebut semangat Rumbadi Dalle untuk menuntut ilmu masih tinggi, kini dirinya tercatat sebagai salah seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan (Unrika). Bahkan jabatan Gubernur untuk Fakultas tersebut disandangnya, hal tersebut menunjukkan bahwa dirinya serius bergelut dalam dunia kampus.
“Tuntutlah ilmu itu sampai ke liang lahat, dan jangan pernah menyerah dalam hidup ini, terus semangat, karena itu adalah obat dari segala macam penyakit,” kata Rumbadi.
Catatan: Almarhum Rumbadi Dalle akhirnya menyelesaikan gelar Sarjana Hukum di Universitas Riau Kepulauan Riau dan melanjutkan ke jenjang Magister Hukum di Universitas Internasional Batam (UIB). Selanjutnya beliau mengajar di almamaternya yaitu Universitas Riau Kepulauan hingga akhir hayatnya, terakhir beliau dipercaya sebagai Dekan Fakultas Hukum.