TERASBATAM.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melontarkan kritik keras terhadap dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia, yang akan dibawa ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). WALHI menilai dokumen tersebut gagal mencerminkan prinsip keadilan iklim dan menunjukkan kontradiksi antara target penurunan emisi dengan rencana pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ekstraktif.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even Sembiring, menegaskan bahwa target iklim dalam SNDC masih “semu”, sementara kenyataan menunjukkan emisi skala besar akan terus dihasilkan.
“Pendekatan teknokratis dan ambisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% dengan strategi menggenjot investasi dan konsumsi akan menjauhkan Indonesia dari komitmen iklimnya,” kata Even Sembiring melalui siaran pers yang diterbitkan Kamis (23/10/2025).
WALHI juga mengkritik proses penyusunan SNDC yang dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh unsur masyarakat.
Secara substansi, WALHI menyoroti ketergantungan SNDC pada energi fosil, terutama rencana penambahan 16,6 GW berbasis fosil (10,3 GW di antaranya gas), alih-alih penghapusan bertahap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara (coal phase-out). Kritik juga diarahkan pada target percepatan elektrifikasi transportasi, yaitu 2 juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030, yang dikhawatirkan akan mempercepat eksploitasi nikel, deforestasi, dan meningkatkan ketergantungan pada PLTU batu bara sebagai sumber listrik smelter.
Lebih lanjut, WALHI mencatat kontradiksi antara komitmen iklim dan prioritas rezim saat ini, khususnya program swasembada pangan dan energi yang ditargetkan di 20 juta hektar hutan. Program ini dikhawatirkan memicu deforestasi besar-besaran, yang berujung pada pelepasan miliaran ton emisi karbon. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim yang terpusat dan mengandalkan Carbon Offset Mechanism serta Emissions Trading System (ETS) dinilai WALHI hanya memfasilitasi green washing dan land banking alih-alih mengurangi emisi secara struktural.
WALHI mendesak pemerintah untuk merevisi SNDC agar mencerminkan keadilan iklim dan menjamin partisipasi penuh rakyat. Mereka menantang Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan proses rekognisi dan legalitas wilayah kelola rakyat seluas 848.274 hektare sebelum Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 30, sebagai bukti nyata komitmen adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas. “Substansi SNDC ini belum mampu menjawab persoalan krisis iklim secara struktural dan sistemik, sehingga masih sangat jauh dari tuntutan keadilan iklim,” tutup Even Sembiring.


