TERASBATAM.ID: Menjelang peringatan satu tahun tragedi bentrok di Pulau Rempang, warga Melayu melakukan ziarah ke Lubuk Lanjut, tempat yang diyakini sebagai titik awal pemukiman di pulau tersebut. Ziarah ini menjadi simbol perlawanan warga terhadap proyek Rempang Eco City yang mengancam keberadaan kampung mereka.
Pada Jumat (06/09/2024) sore, warga mendatangi makam leluhur mereka, memanjatkan doa, dan berharap agar perjuangan mereka mempertahankan tanah adat mendapat dukungan dari para leluhur.
Muhammad Sani, salah satu warga yang hadir, mengungkapkan kepedihannya. “Kepada malaikat, kepada Allah, kita minta, mudah-mudahan batallah proyek Rempang Eco City ini,” ujarnya lirih.
Bagi warga Rempang, tanah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga identitas dan warisan leluhur. Muhammad Saleh, salah satu warga yang tak kuasa menahan tangis, menegaskan bahwa bukti keberadaan masyarakat Melayu di Rempang sudah ada jauh sebelum Indonesia berdiri.
Tragedi bentrok antara warga dan aparat pada 7 September 2023 lalu masih menyisakan luka mendalam. Warga yang mempertahankan kampung mereka dihujani gas air mata dan peluru karet, bahkan tujuh di antaranya sempat ditangkap.
Meski terus mendapat tekanan dan intimidasi, warga Rempang tetap teguh pada pendirian mereka. Sani menyampaikan apresiasi atas dukungan dari berbagai pihak yang telah menguatkan mereka dalam perjuangan ini.
“Kami masyarakat Pulau Rempang ini sangat berbesar hati pada bantuan dari saudara mara dari sudut seluruh Indonesia ini, membela tanah Rempang ini. Karena mereka semua tahu Rempang ini bukan dua tiga hari,” katanya.
Lebih lanjut, Sani mengapresiasi gerak serta masyarakat Indonesia dari berbagai penjuru, membersamai perjuangan warga Pulau Rempang. Dukungan itu membuat warga tetap bertahan meski mereka terus berada dalam tekanan dan intimidasi.
Seperti diketahui, pada 7 September 2023 lalu, masyarakakat Pulau Rempang terlibat bentrok dengan hampir 1.000 aparat gabungan yang memaksa masuk. Warga yang takut kehilangan kampung, menolak dengan melakukan perlawanan.
Aparat yang hadir kemudian merespon dengan menghujani warga dengan gas air mata dan peluru karet. Petugas juga menangkap tujuh warga yang dianggap melawan, menjadikan mereka tersangka, sebelum akhirnya mereka dibebaskan.
Meskipun demikian, warga terus memberikan perlawanan, sampai malam. Menahan laju gerak petugas dengan pealatan seadanya, sepanjang sekitar 29 Kilometer jauhnya. Melawan gas air mata yang terus menyerang mereka.