TERASBATAM.ID: Polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City kembali mencuat dalam diskusi publik yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) pada Jumat (21/06/2024). AJI Indonesia mengkritik pemberitaan terkait konflik agraria Rempang yang tidak terverifikasi.
Perwakilan AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menyoroti minimnya pemberitaan yang sesuai dengan fakta di lapangan. Dirinya mencatat adanya dualisme dalam pemberitaan mengenai kasus agraria di Pulau Rempang.
“Benar apa yang disampaikan teman-teman terkait minimnya pemberitaan yang berpihak kepada warga. Kalau kita lihat di pemberitaan, terdapat dua kubu dan ini terpecah,” ujar Sasmito.
Dia menjelaskan bahwa ada media yang bersikap kritis dan kredibel, sementara ada pula media yang mewakili kepentingan perusahaan.
“Ini menjadi kritik terhadap teman-teman media yang tidak melakukan verifikasi rilis yang dijadikan sebagai berita,” tambahnya.
Sasmito menekankan pentingnya verifikasi dalam setiap laporan berita untuk memastikan akurasi dan keadilan dalam pemberitaan, terutama dalam kasus konflik agraria yang berdampak langsung pada masyarakat di Pulau Rempang dan daerah lainnya.
Sementara itu Perwakilan masyarakat Rempang yang terdampak relokasi tahap pertama menyampaikan penolakan tegas mereka. Wadi, dari Sembulang Hulu, menyayangkan informasi fiktif yang disebarkan BP Batam terkait data warga yang setuju direlokasi. “Kami tidak mau dipindahkan, ini kampung kami,” tegasnya.
Saka, perwakilan Kampung Tua Pasir Panjang, juga menyatakan mayoritas warga menolak relokasi dan meminta BP Batam transparan dalam menyampaikan informasi.
Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menyoroti minimnya ketegasan pemerintah dalam menangani konflik agraria. Ia mencontohkan perbedaan mencolok antara pernyataan Presiden Jokowi dengan tindakan nyata di lapangan.
“Terdapat 90 KK yang setuju direlokasi mayoritas pendatang baru, bukan warga asli Rempang,” ungkap Andri.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring, menambahkan bahwa pengusiran brutal terhadap masyarakat Rempang pada 7 September 2023 merupakan bukti represif pemerintah.
Rina Mardiana dari KIKA menemukan banyak fakta mengejutkan terkait janji-janji pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Ia juga mengkritik regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat Rempang.
“Konflik Rempang menunjukkan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan dengan hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.
AJI Indonesia mengkritik pemberitaan terkait konflik agraria Rempang yang tidak terverifikasi. Perwakilan AJI, Sasmito Madrim, menekankan pentingnya verifikasi untuk memastikan akurasi dan keadilan dalam pemberitaan.
Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc mengungkapkan bahwa polemik Rempang Eco-City merupakan pertarungan berat bagi masyarakat. Ia memperkirakan konflik ini akan berlangsung lama, namun peluang kemenangan masih ada.
“Masyarakat Rempang harus bersatu dan menggalang solidaritas,” tandasnya.
Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman menyatakan bahwa negara telah melakukan kejahatan terencana terhadap masyarakat Rempang. Ia meminta negara menjadi wakil rakyat, bukan merampas tanah rakyatnya.
Kabiro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait saat coba dihubungi www.terasbatam.id terkait situasi masyarakat dan pernyataan berbagai pihak terhadap masalah Rempang belum memberikan tanggapannya.
Sejak Jumat (21/06/2024) pesan yang dikirim melalui aplikasi whatsapp tidak mendapatkan tanggapan, demikian juga dengan panggilan suara.


