TERASBATAM.ID – Insiden dugaan penganiayaan yang melibatkan dua tenaga kerja asing (TKA) wanita di sebuah tempat hiburan malam di Batam telah memicu gelombang kemarahan dan keprihatinan mendalam. Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam, Yang Mulia Dato’ Muhammad Amin, dengan tegas menyatakan bahwa kejadian memalukan ini bukan hanya tindakan pidana, tetapi juga tamparan keras bagi citra Batam sebagai “Bandar Dunia Madani”. Ini adalah alarm keras bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bersikap tegas dan memastikan regulasi ditegakkan tanpa kompromi.
“Kok berani-berani, ya, masuk ke negara orang bikin rusuh?” ujar Dato’ Amin, menyuarakan kegeraman yang sama dengan masyarakat Batam. Ia menekankan bahwa perilaku semacam ini sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai adat Melayu yang kental dengan ajaran Islam.
“Yang namanya hiburan malam dan sebagainya itu tidak sesuai dengan adat Melayu, dengan beradabnya kita orang Melayu. Karena, mohon maaf, Melayu itu Islam, Islam itu Melayu,” tegasnya. Seruan LAM bukan hanya tentang penegakan hukum pidana atas insiden pengeroyokan DJ Stevani, tetapi juga tentang pengawasan fundamental terhadap legalitas dan izin kerja TKA yang bersembunyi di balik gelapnya hiburan malam.
Fakta di lapangan semakin memperkeruh suasana. Meskipun dua dari empat WNA asal Vietnam yang diduga terlibat telah diamankan Polsek Lubuk Baja, pengakuan Imigrasi Batam justru membuka tabir lemahnya pengawasan.
Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Imigrasi Batam, Kharisma Rukmana, menjelaskan bahwa data TKA di First Club hanya mencatat empat TKA asal China dengan deskripsi pekerjaan teknikal dan marketing, tanpa satupun WN Vietnam terdaftar sebagai pekerja. Ini menimbulkan pertanyaan krusial: Jika mereka bukan TKA resmi, lantas bagaimana WNA Vietnam tersebut dapat “bekerja” sebagai pemandu lagu (LC) di klub tersebut? Imigrasi menyebut mereka berstatus pengunjung, namun terlibat dalam pengeroyokan, yang jelas merupakan pelanggaran hukum.
Di sinilah relevansi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing menjadi sangat vital. Regulasi ini dengan jelas mengatur bahwa setiap Pemberi Kerja TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Lebih lanjut, TKA hanya dapat dipekerjakan pada jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. Apakah profesi “Ladies Companion” merupakan jabatan yang diizinkan untuk TKA di Indonesia, apalagi tanpa RPTKA yang jelas? Jawabannya jelas: Tidak!
PP 34/2021 juga mewajibkan pemberi kerja TKA untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Dalam kasus ini, apakah tidak ada tenaga kerja lokal yang kompeten untuk mengisi posisi LC, jika memang profesi tersebut sah? Keberadaan TKA “nakal” yang diduga bekerja secara ilegal dan terlibat tindak pidana bukan hanya mencoreng moral dan budaya lokal, tetapi juga merampas hak tenaga kerja Indonesia.
LAM Batam telah memberikan sorotan tajam, dan kini bola ada di tangan pemerintah dan aparat penegak hukum. Imigrasi, Dinas Tenaga Kerja, dan Kepolisian harus duduk bersama, mengaudit secara menyeluruh setiap tempat hiburan malam, serta menindak tegas setiap pelanggaran penggunaan TKA. Insiden ini adalah peringatan keras bahwa slogan “Bandar Dunia Madani” tidak akan berarti apa-apa jika hukum dan norma-norma tidak ditegakkan secara konsisten. Sudah saatnya Batam benar-benar menjadi harmoni dalam keberagaman, bukan sarang TKA ilegal yang seenaknya merusak tatanan dan nilai-nilai lokal. Penegakan hukum yang tegas adalah harga mati demi menjaga marwah Batam!


