Cerita Soal Bisnis E-commerce di Batam yang Dulu Sempat Berjaya

Terasbatam.id: Genggaman tangan Suhardi ke bagian stir mobil Dahiatsu Alya miliknya cukup erat, matanya sesekali melirik kaca spion dalam untuk eye contact dengan penumpangnya. Mobil tersebut baru dibelinya beberapa bulan setelah pandemic Covid-19 mewabah, sebelum menjual mobil Honda CRV yang sehari-hari digunakannya. Matinya bisnis E-commerce dan wabah Covid-19 menyebabkan pengusaha pakaian anak-anak import secara online ini harus banting stir jadi pengemudi mobil online di aplikasi Gocar.

“ini baru saja diterima karena kemarin ada pembukaan besar-besaran pengemudi Gocar, sebelumnya nganggur lama sekali setelah Covid-19 mewabah,” kata Suhardi.

Suhardi mengatakan, jauh sebelum Covid-19 mewabah, dirinya selama ini menjual produk pakaian anak-anak asal China melalui toko online di berbagai aplikasi, seperti Bukalapak dan Tokopedia. Pembelinya tentu saja dari berbagai penjuru tanah air. Dirinya cukup mengendalikan dan mengerjakannya bersama sang isteri dari rumah.

“pendapatan cukup besar, bisa menghidupi saya dan keluarga, pekerja ada satu atau dua orang ketika itu,” kata Suhardi.

Menurut Suhardi, bisnis e-commerce yang dilakoninya sejak tahun 2017 itu harus menemukan titik akhir saat Direktorat jenderal Bea dan Cukai secara resmi mulai memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199 tahun 2019 tentang barang kiriman sejak 30 Januari 2020.

Peraturan itu berlaku juga di Batam yang mengakibatkan seluruh barang kiriman baik itu pribadi maupun dari indusri e-commerce senilai USD 3 dikenai pajak Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini berimbas kepada perusahaan jasa titipan, industry online dan masyarakat perorangan.

“Jadi nilai barang kita dikenakan pajak, jumlah cukup besar, dan pembeli dari daerah lain menilai tidak worthed lagi belanja di e-commerce saya. Akhirnya saya pilih berhentilah,” kata Suhardi.

Suhardi sempat “memutar otak” agar bisnisnya tetap jalan dengan cara mengirimkannya melalui kota TanjungPinang melalui jasa kurir terorganisir dari Batam. Jadi seluruh barang e-commerce Batam dikirim dulu ke Tanjungpinang secara manual, selanjutnya dari Tanjungpinang baru dikirim melalui Jasa Titipan.

“Itu beresiko juga, karena nanti kalau ditangkap di pelabuhan Kurir tidak bertanggungjawab, untuk pun jadi kecil,” kata Surhadi.

Cobaan semakin parah, tiga bulan kemudian, tepatnya Maret 2020, Wabah Covid-19 mewabah, lockdown pun terjadi dimana-mana, dan Suhardi harus bertahan hidup dengan tabungan yang mereka miliki.

Hal serupa juga dialami oleh Lisa Athalia, dirinya mengaku cukup shock saat peraturan tentang barang kiriman dikenakan pajak pada saat awal-awal diberlakukan. Pedagang online shop kosmetik ini terpaksa membatalkan sejumlah kiriman kepada customernya diluar Batam karena kiriman plus pajak yang harus dibayarnya jauh lebih mahal daripada harga produk yang dijualnya.

“Seperti kirim krim malam, saya jual hanya Rp 60 ribu, namun dari angka itu ada pajak yang harus saya bayar, sementara saya jual kepada konsumen tanpa pajak. Tetapi saat akan dikirim pajaknya mesti saya bayar, makanya saya stop,” kata Lisa.

Menurut Lisa, konsumen yang berada diluar Batam, seperti Sumatera dan Jawa rutin membeli produk dari dirinya yang memasarkannya secara online melalui Instagram atau pun Facebook. Sementara racikan kosmetik miliknya berasal dari Malaysia.

Cerita Suhardi maupun Lisa merupakan bagian kecil soal bagaimana bisnis e-commerce yang mereka lakoni harus berakhir. Imbas atas larangan tersebut cukup berdampak pada sector lainnya. Jasa Titipan Kilat hingga banyak toko-toko yang selama ini menumpuk barang di Gudang terpaksa menjualnya secara offline, ketika stok habis mereka pun menutup tokonya.

Pengertian e-Commerce menurut Laudon & Laudon (1998) adalah suatu proses untuk menjual dan membeli produk-produk secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan dengan perantara komputer yaitu memanfaatkan jaringan komputer.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199 tahun 2019 tentang barang kiriman sejak 30 Januari 2020 itu mengharuskan konsumen untuk membayar Bea Masuk sebesar 7,5 persen plus PPN 10 persen, tentu jika dijumlahkan nilai cukup besar dibandingkan harga yang ditawarkan pada konsumen.

Berdasarkan data dari sebuah asosiasi jasa titipan kilat, setiap tahunnya ada 45 Juta paket kiriman keluar dari Batam. Paket tersebut berisi berbagai produk, baik itu makanan, minuman, tas, pakaian dan barang yang sering dipasarkan secara online.

Batam sendiri selama ini dikenal sebagai kawasan di Indonesia yang bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai yang ditetapkan dalam rangka mendorong lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara dan penanaman modal asing dan dalam negeri serta memperluas lapangan kerja.

Namun fasilitas pajak yang dimiliki Batam itu juga dimanfaatkan sebagian pihak untuk kepentingan bisnis yang dinilai bisa menghancam keberadaan industry di dalam negeri.