Akademisi Dorong RI Kendalikan FIR Singapura

terasbatam.id: Akademisi dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran mendorong Indonesia untuk mengendalikan Flight Information Region (FIR) Singapura dan memasukkannya menjadi bagian dari Jakarta FIR untuk menghormati kedaulatan Indonesia.

Usulan ini mengemuka merespon hasil perjanjian FIR diatas wilayah Kepulauan Riau yang menimbulkan polemik karena berbagai hal, salah satunya karena Indonesia kembali mendelegasikan 29 persen FIR miliknya kepada Singapura hingga 25 tahun kedepan.

Usulan tersebut disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Himahanto Juwana dan Prof Atif Latipulhayat dari Unpad dalam diskusi webinar bertema “Kupas Tuntas FIR Singapura” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI),  Indonesian Center for Air and Space Law (ICASL) dan Jakarta Defence Studies (JDS) pada Kamis, (03/02) yang diikuti 1.000 orang peserta dari berbagai unsur.

Hadir sebagai pembicara Ketua PSAPI Marsekal (Purn) Chappy Hakim, Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto Rahardjo dan Direktur Operasi Airnav Mokhammad Khatim serta dua akademisi dari UI dan Unpad tersebut.

Himahanto Juwana mengatakan, terkait FIR dari sisi Indonesia berbicara tentang kedaulatan, sementara Singapura bicara dari sisi keselamatan.

“Nah kedaulatan bukan berarti dalam konteks Singapura tidak mengakui kedaulatan kita, mereka sudah mengakui. Hanya saja pengelolaan terhadap FIR itu masih dilakukan oleh Singapura yang sebenarnya kita bisa mengelolah itu karena berada di bawah kedaulatan kita. Jadi dasarnya ialah pasal 1 Chicago Convention dan kedua pada pasal 5 dan 458 dari UU No 1 tahun 2009 tentang penerbangan,” kata Himahanto.

Himahanto kemudian mempertanyakan soal kemampuan Indonesia untuk mengelolah FIR diatas wilayah Kepulauan Riau serta potensi Indonesia untuk mengendalikan FIR Singapura menjadi bagian dari Indonesia.

“Apakah Indonesia pada hari ini Indonesia mampu mengelola FIR diatas Kepri, apakah sampai hari ini Indonesia masih disamakan dengan Timor Leste yang pengelolahan FIRnya dilakukan Indonesia. Apakah dalam 25 tahun Indonesia masih harus mendelegasikan FIR Singapura. Apakah tidak mungkin Indonesia mengelolah FIR atas Kepri bahkan mengelolah FIR yang selama ini dikelola Singapura, dimana Singapura yang mendelegasikan kepada Indonesia.

Jadi kita yang mengerjakan, jadi sudahlah Singapura kamu tenang saja, kami kasih fee nya. Tetapi kalau Airnav kita kuat,” kata Himahanto.

Himahanto mengatakan, bahwa jika Indonesia mengelola FIR diatas wilayah Kepri tidak akan menutup posisi bandara Changi sebagai salah satu bandara Hub.

“Permasalahan besar dalam pengelolahan FIR adalah masalah Trust. Pertanyaannya adalah apakah bagi Singapura, Airnav Indonesia itu mampu mengelolah FIR diatas wilayah Kepri sehingga terjamin keselamatan sehingga pada gilirannya tetap menjadikan changi sebagai hub. Salah kalau dibilang kita mau ambil itu kemudian mau kita tutup, tidak kita ini menjaga keselamatan. Cuma Singapura tidak percaya dengan kita bahwa kita mampu,” kata Himahanto.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Prof Atif Latipulhayat dari Unpad yang juga Ketua ICASL yang mendorong agar Indonesia yang mengendalikan FIR Singapura dan menjadikan bagiannya dalam FIR Indonesia.

“kenapa tidak berpikir bahwa FIR Singapura yang kita kendalikan?” kata Atif.

Sementara Ketua PSAPI Marsekal (Purn) Chappy Hakim yang juga mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) mengatakan, setelah tanggal 25 Januari 2022 setelah Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa FIR Jakarta sudah mencakup seluruh wilayah territorial Republik Indonesia.

“muncul perdebatan-perdebatan atau polemic yang membahas tentang FIR. FIR itu tidak sederhana, itu pula sebabnya banyak orang membahasnya dari perspektif masing-masing,” kata Chappy.

Selanjutnya, menurut Chappy, muncul soal standart pelayanan penerbangan Indonesia yang dinilai kurang dipercaya atau kurang percaya diri atas kemampuannya.

“Dan soal garis batas FIR sendiri antara batas FIR Singapura dengan Malaysia berpadu dengan garis batas negara, mengapa dengan Indonesia tidak demikian, itu semua pertanyaan muncul,” kata Chappy tentang alasan diselenggarakannya diskusi webinar tersebut.

Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto Rahardjo menyebutkan bahwa pendelegasian sebagian FIR di Kepri karena alasan untuk safety, sedangkan dari sisi fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi apa yang dimiliki oleh Jakarta Trafick Control System  sama kemampuannya dengan apa yang dimiliki oleh negara lain.

“kita sudah menggunakan teknologi satellite, semua ATC sudah memenuhi standart dari sisi teknis operasi, SDM dan jam terbang,” kata Novie.

Sedangkan sesuatu yang tidak mungkin, menurut Novie, untuk mengambilalih FIR Singapura, karena hal tersebut sama artinya dengan menurunkan petugas ATC Bandara Changi dengan petugas dari Indonesia. (FP)