TERASBATAM.id: Presiden Prabowo Subianto dengan latar belakang militer didesak untuk bersikap tegas kepada China terkait tapal batas Laut Natuna Utara. Indonesia harus bersikap diplomatic terbuka bahwa memang terjadi “konflik” dengan China terkait Laut Natuna Utara sehingga hampir tiap tahun terjadi “perselisihan” antara otoritas Indonesia dengan kapal-kapal China di wilayah tersebut.
Akademisi dan juga Pengamat Politik di Provinsi Kepulauan Riau Zamzami A Karim, Jumat (25/10/2024) mengatakan, bahwa selama ini Indonesia terkesan menghindar bahwa terjadi “dispute” soal sebagain Laut Natuna Utara dengan China.
“secara diplomatic Indonesia selalu mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan China, atau Indonesia selalu menyebut kita tidak terlibat dispute soal laut china Selatan. Tetapi faktanya hampir setiap tahun ada kontak antara kapal aparat kita dengan China,” kata Zamzami.

Menurut Zamzami, situasi ini meminta kepada Presiden Prabowo untuk membuktikan pidato yang disampaikannya seusai dilantik sebagai Presiden RI periode 2024-2029 di depan MPR/DPR RI yang memastikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada aliansi tertentu dan tidak bisa diintervensi.
“Seusai terpilih sebagai Presiden, kunjungan pertama Prabowo Subianto adalah ke China, seharusnya hal itu membuat situasi diplomasi kita lebih adem di semua sisi, tidak saja masalah ekonomi tetapi juga masalah Natuna Utara,” kata Zamzami.
Zamzami juga menyoroti soal “salah kaprah”nya kekuatan militer yang dibangun di Natuna di era Presiden Jokowi. Kekuatan militer yang dibangun disana merupakan kekuatan militer yang berorientasi ke darat, bukan ke laut maupun ke udara.
“Perang yang terjadi dengan potensi yang ada ialah di udara atau di laut, sementara yang dibangun di Natuna malah kekuatan darat yang berorientasi perang darat dengan taktik gerilya. Saya kira ini salah kaprah,” kata Zamzami.
Zamzami juga melihat bahwa kekuatan militer dengan pendirian sejumlah batalyon komposit di Natuna oleh Presiden Jokowi dengan Menteri Pertahanannya Prabowo Subianto, ternyata tidak memberikan “signal” kepada China agar berhati-hati di Natuna Utara.
“Saya lebih melihat urgensinya agar Natuna segera dijadikan Provinsi Khusus sebagaimana permintaan Masyarakat disana dibandingkan mengucurkan APBN disana untuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi perselihan dengan Masyarakat,” kata Zamzami.
Berdasarkan data Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Bakamla RI melalui unsur Kapal Negara (KN) Tanjung Datu-301, melakukan shadowing dan mengusir kapal China Coast Guard (CCG) 5402 yang mengganggu kegiatan Survei dan Pengolahan Data Seismik 3D Arwana yang sedang dilaksanakan oleh PT Pertamina East Natuna menggunakan kapal MV Geo Coral. Peristiwa ini terjadi di Laut Natuna Utara, pada Senin (21/10/2024).
Berselang satu hari setelah diusir oleh Kapal KN Pulau Dana-323 milik Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kapal China Coast Guard (CCG) 5402 kembali memasuki wilayah Yurisdiksi Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara, pada Kamis (24/10/2024) sekitar pukul 07.30.
Berdasarkan Press Release yang diterbitkan oleh Humas Bakamla RI, Kamis (24/10/2024), disebutkan bahwa Direktur Operasi Laut Bakamla RI Laksma Bakamla Octavianus Budi Susanto, S.H., M.Si., M.Tr. Opsla setelah mendapatkan laporan tersebut memerintahkan KN. Pulau Dana-323 untuk melaksanakan intercept atau mencegat kapal milik China itu.
Menurut keterangan tertulis disebutkan kronologi awal, bahwa pada Pukul 07.30 WIB, KN. Pulau Dana-323 melakukan kontak komunikasi namun tidak di respon oleh kapal CCG 5402, justru malah mendekati serta mengganggu MV Geo Coral yang sedang melakukan kegiatan survei.
KN Pulau Dana-323 menghalau CCG 5402 untuk keluar dari Landas Kontinen Indonesia agar tidak mengganggu kegiatan survei MV Geo Coral.
“Pengusiran yang dilakukan oleh Bakamla RI terhadap kapal CCG di Landas Kontinen Laut Natuna Utara, merupakan bentuk nyata dari komitmen untuk selalu menjaga keamanan di laut sesuai dengan tugas dan fungsi Bakamla RI, melalui patroli yang dilakukan oleh unsur-unsurnya,” kata Pranata Humas Ahli Muda Bakamla Kapten Yuhanes Antara.
Natuna terletak 550 kilometer disebelah Timur Laut Pulau Batam atau kurang dari 530 km dari Singapura. Natuna berbatasan laut dengan Laut China Selatan. Natuna sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bintan, hingga pada tahun 1999 berdiri sebagai daerah otonom baru. Daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas (migas).


