TERASBATAM.ID – Warga Pulau Rempang, Batam, menggelar “Pesta Rakyat” yang meriah di Kampung Sungai Raya pada Sabtu (23/08/2025) malam. Acara yang dikemas dengan beragam atraksi budaya ini menjadi simbol perlawanan dan penegasan sikap warga untuk menolak proyek Rempang Eco City dan segala bentuk relokasi dari tanah leluhur mereka, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.
Fokus utama perhelatan ini adalah perjuangan warga, khususnya kaum perempuan, yang mengekspresikan komitmen mereka menjaga kampung dari ancaman penggusuran.
Pernyataan Sikap: Kami Menolak Tumbang!
Pesta Rakyat dibuka dengan pembacaan pernyataan sikap yang diikuti ratusan masyarakat yang hadir. Pernyataan tersebut menegaskan penolakan keras masyarakat Pulau Rempang untuk digusur dari kampung yang telah mereka huni secara turun-temurun.
Dalam pembacaan sikap tersebut, warga berteriak lantang:
“Masyarakat Rempang menolak tumbang. Kami masyarakat Pulau Rempang terjajah di negeri yang merdeka. Kampung, tanah, dan laut kami dirampas atas nama pembangunan… Perlawanan akan tumbuh dan berkembang dari setiap kampung-kampung di Pulau Rempang.”
Mereka juga menegaskan bahwa segala bentuk intimidasi, teror, hingga iming-iming politik telah mereka hadapi. “Ketahuilah kami tidak akan mundur. Sebutir pasir di pantai tidak akan berubah menjadi kaca, sejengkal pun tidak akan bergeser kampung-kampung di Pulau Rempang,” demikian salah satu isi pernyataan sikap tersebut.
Slogan-slogan seperti “Tolak proyek Rempang Eco City,” “Tolak relokasi,” dan “Tolak tipu-tipu transmigrasi” turut diteriakkan.
Ekspresi Perlawanan Kaum Perempuan
Kaum wanita dari berbagai kampung tampil dengan balutan busana adat, menyuguhkan 14 jenis tarian, puisi, orasi, dan pernyataan sikap. Gerak perjuangan warga dikemas dalam nuansa suka cita.
Seorang perempuan dari Kampung Sungai Raya membacakan puisi berjudul “Peringatan dari Hutan,” yang isinya mengkritik keras upaya penggusuran atas nama pembangunan dan hukum. Puisi tersebut menegaskan bahwa tanah adalah ibu dan harga diri, bukan sekadar “hutan semak belukar” atau benda mati.
“Tanah ini ialah ibu dan harga diri kami. Kami berdiri untuk mengingat, bahwa tuan bukan tuhan,” demikian penggalan puisi tersebut.
Pesan Pesta Rakyat
Ketua Panitia Pesta Rakyat Pulau Rempang, Bernardus Hengki, menuturkan bahwa kegiatan ini adalah pesan pada pemerintah bahwa Pulau Rempang tidak kosong.
“Bahwa ada denyut dan napas di kampung-kampung di berbagai sudut Pulau Rempang,” ujar Hengki. Ia menambahkan, warga terus memperjuangkan kampung mereka yang telah ada sejak dulu agar tidak dijadikan kawasan Taman Buru.
Siti Hawa, atau Nek Awe, warga Kampung Sembulang Pasir Merah, menegaskan komitmennya untuk terus berjuang sampai keadilan ditegakkan.
Selain penampilan budaya sebagai simbol kerukunan dalam keberagaman di Rempang, kaum ibu juga menyajikan 80 Nasi Tumpeng yang disantap bersama. Hasil bumi Pulau Rempang turut dibagikan ke semua masyarakat yang hadir, menyimbolkan kemakmuran dan kekayaan alam yang mereka pertahankan.
[kang ajank nurdin]


