TERASBATAM.ID – Aksi Kamisan di Kota Batam, yang pertama kali digelar di Alun-Alun Pemko Batam, Kamis (11/09/2025), tidak berjalan sesuai rencana. Sejumlah mahasiswa yang menjadi inisiator memilih mundur lebih awal, namun warga Rempang tetap bertahan dan menggunakan momentum tersebut untuk menyuarakan keresahan mereka terkait konflik agraria.
Wadhi, salah satu warga Rempang yang hadir, mengaku bersyukur bisa berpartisipasi. Ia melihat aksi ini sebagai ruang penting untuk menyampaikan suara.
“Bagi sebagian orang di kota, mungkin isu Rempang sudah reda. Tapi bagi kami belum ada kata selesai. Hak kami masih terabaikan,” tegasnya.
Menurut Wadhi, warga Rempang merasa perlu menyuarakan persoalan legalitas kampung yang belum terselesaikan. Ia menyinggung penetapan Taman Buru di Sungai Raya yang dilakukan pemerintah tanpa sosialisasi, yang berimbas pada status tanah warga.
Paulus, warga Sungai Raya lainnya, menambahkan bahwa kampung mereka sudah dihuni sejak tahun 1950-an.

“Sayangnya pemerintah menetapkan hutan taman buru pada 1986 tanpa melihat bahwa sudah ada warga di situ. Itu yang membuat kami kecewa,” ujar Paulus.
Meski mahasiswa memilih mundur, warga Rempang tetap merasa mendapatkan ruang. Mereka bahkan diberi kesempatan untuk berbicara di panggung Kamisan. “Kami minta satu-dua menit saja. Yang penting suara kami terdengar di kota,” kata Wadhi.
Hendrik Hermawan dari komunitas Akar Bhumi, yang turut hadir, menilai Aksi Kamisan di Batam masih dalam tahap belajar. Ia berharap masyarakat dapat lebih memahami esensi Kamisan sebagai ruang renungan untuk perjuangan hak asasi manusia, termasuk hak hidup masyarakat pesisir seperti di Rempang.
Meskipun demikian, para peserta sepakat bahwa Aksi Kamisan di Batam akan berlanjut. Warga dan komunitas berencana hadir kembali pada pekan berikutnya untuk terus menyuarakan aspirasi mereka.
[kang ajank nurdin]


