Warga Rempang-Galang mendatangi Wali Kota Batam, menyampaikan tiga isu utama: status kampung tua, aktivitas PT MEG, dan buruknya pelayanan publik di tengah polemik Rempang Eco City.
TERASBATAM.ID — Dinamika polemik proyek Rempang Eco City masih menyisakan persoalan di lapangan. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Kota (Pemko) Batam menegaskan komitmennya untuk membuka ruang dialog. Wali Kota Batam Amsakar Achmad dan Wakil Wali Kota Li Claudia Chandra menerima audiensi Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) di Kantor Wali Kota Batam, Kamis (13/11/2025).
Pertemuan tersebut menjadi momentum penting bagi warga untuk menyampaikan langsung berbagai keluhan, mulai dari trauma sosial, status Kampung Tua, hingga buruknya pelayanan publik di wilayah mereka.
Anggota Aliansi AMAR-GB, Sopi, menyebutkan tiga isu utama yang mereka bawa: Kampung Tua, Hutan Taman Burung, dan pelayanan sosial. “Kami ingin Pak Wali seperti dulu, lebih merangkul masyarakat. Sekarang kami merasa tidak dianggap,” ujar Sopi usai pertemuan.
Janji Wali Kota dan Isu Kampung Tua
Wali Kota Amsakar Achmad dalam dialog tersebut menegaskan bahwa Pemko Batam memiliki atensi tinggi terhadap persoalan Rempang-Galang dan berupaya mencegah pola komunikasi yang tidak sehat.
“Kami berupaya maksimal, tetapi tidak semua aspirasi bisa direalisasikan sekaligus. Prioritas tetap pada kepentingan masyarakat,” kata Amsakar.
Secara khusus, Amsakar berjanji akan turun langsung ke lokasi dalam waktu dekat untuk meninjau persoalan tersebut. Ia memastikan, persoalan Kampung Tua akan menjadi agenda penting yang akan diperjuangkannya untuk mencari jalan tengah terbaik.
Sementara itu, menanggapi keluhan terkait aktivitas PT MEG yang dinilai warga masuk tanpa izin ke wilayah Sungai Raya dan melakukan pengukuran lahan, Amsakar meminta laporan disampaikan secara objektif. “Kalau memang ada gangguan, silakan dilaporkan. Komunikasinya harus diluruskan,” tegasnya.
Pelayanan Publik Mandek dan Tuntutan Warga
Warga Rempang-Galang juga menyoroti kemandekan pelayanan administrasi dan pembangunan di tingkat kelurahan dan kecamatan. Sopi mengeluhkan kantor lurah yang kadang hanya buka hingga pukul 11.00 WIB, serta kesulitan mengurus dokumen kependudukan.
Selain itu, program pembangunan seperti semenisasi, PIK, dan PSPK (Program Sarana Produksi Pertanian dan Kelautan) diklaim warga telah mandek selama dua tahun terakhir sejak proyek Rempang Eco City muncul.
“Jalan kami rusak parah. Kalau ada kecelakaan warga, siapa yang bertanggung jawab?” tanya Sukri, warga AMAR-GB lainnya. Ia juga menyoroti bantuan untuk nelayan dan petani yang tidak pernah turun.
Sukri menegaskan bahwa warga tidak menolak kehadiran pemimpin daerah, asalkan kunjungan tersebut murni untuk silaturahmi, tanpa embel-embel BP Batam maupun PT MEG.
Wakil Wali Kota Batam Li Claudia Chandra menekankan pentingnya kondusivitas di tengah dinamika ini. “Jangan ada provokasi. Mimpi kami adalah Batam harus maju dan masyarakatnya sejahtera,” ujarnya.
Meskipun gejolak terjadi, Sopi menyebutkan, dari sekitar 200 KK di Sungai Raya, hanya 7-8 KK yang pindah, sementara sisanya masih bertahan dan menunggu kejelasan status permukiman mereka.
[kang ajank nurdin]


