TERASBATAM.id- Puluhan warga Rempang yang menolak relokasi kembali mendatangi Kantor Pemerintah Kota (Pemko) Batam, Senin (05/05/2025). Kedatangan mereka kali ini untuk menyampaikan keluhan terkait pembongkaran paksa kebun milik salah seorang warga Tanjung Banon, Rempang, oleh tim terpadu Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Airlangga Sinaga, warga yang mengaku sebagai pemilik lahan di Tanjung Banon, mengungkapkan kekecewaannya langsung kepada Wali Kota Batam yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam di Kantor Pemko. “Saya menolak penggusuran ini, saya mempertahankan tanah ini,” tegas Airlangga dalam dialog dengan Wali Kota.
Sinaga menyebutkan bahwa masih ada dua lokasi lahan di Tanjung Banon yang tetap menolak pembangunan rumah relokasi yang tengah dikebut, yakni miliknya dan milik Rusmayanti.
Senada dengan Airlangga, Siti Hawa atau akrab disapa Nek Aweu, juga menyampaikan kegelisahannya di hadapan Wali Kota Amsakar Achmad beserta Wakil Wali Kota Li Clodia Candra. Kekhawatiran utama mereka adalah mengenai kepastian hukum atas tanah yang telah mereka tempati secara turun-temurun.
Nek Aweu menyoroti tekanan yang dirasakan masyarakat akibat ketidakjelasan status hukum kampung tua. Ia menegaskan bahwa warga tidak menghalangi pembangunan, namun meminta agar identitas mereka sebagai masyarakat asli Rempang tetap diakui. “Pembangunan tetap kami tidak menghalang. Tapi kalau kami dianggap seperti bukan masyarakat Rempang, kami tetap melawan,” ujarnya dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, Nek Aweu mempertanyakan masa depan anak cucu mereka jika tempat tinggal mereka digusur tanpa adanya kepastian hak atas tanah. Ia juga menyinggung ketidaknyamanan atas skema relokasi dan proyek yang dinilainya lebih menguntungkan investor asing. “Nanti anak cucu kami di mana? Sebab diberi proyek yang dari (Cina). Kami seperti ini, tidak dianggap lagi pemerintah. Jadi nasib kami di mana nanti, masa depan?” tuturnya dengan nada penuh harap.
Dari respons warga, terlihat jelas bahwa pengakuan legal atas tanah merupakan hal yang tidak dapat ditawar. “Kami tak mau dianggap bukan masyarakat Rempang. Seolah-olah pengaduan kami itu tidak ditanggapi. Kami merasa kecewa,” ucap Nek Aweu dengan mata berkaca-kaca.
Menanggapi keluhan warga, Wali Kota Amsakar Achmad mengakui bahwa persoalan utama yang diangkat adalah mengenai kejelasan status tanah, terutama kampung tua. Ia menyatakan bahwa pemerintah telah berdiskusi dengan Menteri Transmigrasi dan membuka opsi seperti pemberian hak komunal, meskipun belum mencakup pengakuan individual.
“Kita sudah berbincang dengan Menteri Transmigrasi. Ada istilah hak komunal—hak kelompok, tapi tidak ada pengakuan personal di dalamnya. Yang saya harapkan adalah penerimaan terhadap kebijakan, supaya status itu jelas,” ujar Amsakar kepada warga.
Amsakar juga menyampaikan bahwa pemerintah pusat melalui Menteri Transmigrasi telah memberikan pilihan bagi warga Rempang untuk menerima atau menolak kebijakan relokasi. Ia mengimbau warga untuk tidak terus-menerus hidup dalam kecemasan dan membuka ruang dialog lebih lanjut.
[kang ajank nurdin]


