TERASBATAM.ID – Kita hidup dalam tuntutan konstan: pekerjaan, sosial, hingga media sosial, yang membuat kita seolah berlari tanpa jeda. Dalam konteks ini, self-care sering diartikan secara sempit sebagai pelarian konsumtif: masker wajah, berendam di bathtub, atau makanan favorit. Meskipun aktivitas ini memberikan relaksasi, muncul pertanyaan fundamental: apakah ini benar-benar merawat diri atau hanya menunda kelelahan sesaat? Merawat diri yang sejati melampaui ritual kosmetik; ia adalah seni menjaga kesehatan mental dan emosional. Untuk memahami dimensi yang lebih dalam ini, kita dapat merujuk pada filsafat kuno yang sederhana namun kuat: Stoikisme.
Bagian 1: Miskonsepsi Tentang Self-Care
Di era modern, makna self-care telah menyempit dan sering disamakan dengan aktivitas konsumtif. Ia dipasarkan sebagai produk: dari skincare mahal, essential oil, hingga paket liburan “healing”. Media sosial dipenuhi citra ideal tentang “me time” yang mewah, mengubah self-care menjadi alasan untuk belanja impulsif: “Aku lagi stres, jadi aku pantas beli ini.”
Pendekatan ini membuat self-care menjadi konsumtif, bukan reflektif. Efek rileks dari spa atau liburan singkat seringkali semu dan sementara. Stres akan kembali begitu rutinitas dimulai, karena ritual luar ini tidak menyentuh akar permasalahan batin.
Jika self-care hanya berhenti pada permukaan, hasilnya dangkal. Kita mungkin terlihat glowing di luar, tetapi tetap merasa kosong atau rapuh di dalam. Kita hanya menaruh plester pada luka yang sebenarnya membutuhkan penanganan serius. Industri memanfaatkan konsep ini untuk menjual ilusi bahwa “merawat diri” berarti “membeli sesuatu.”
Self-care yang sejati seharusnya membangun resiliensi, kekuatan, dan kedamaian. Ini adalah transisi dari self-care yang dangkal menuju yang sejati; dari yang konsumtif menuju yang reflektif; dari sekadar “perawatan kulit” menuju “perawatan jiwa.”
Bagian 2: Stoikisme dan Kesehatan Jiwa
Filsafat Stoikisme, yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Kaisar Marcus Aurelius sejak abad ke-3 SM, menawarkan perspektif revolusioner. Bagi para Stoik, merawat diri bukanlah tentang mencari kesenangan sesaat, melainkan tentang melatih jiwa agar kuat menghadapi kehidupan.
Epictetus menyampaikan prinsip mendasar: “Bukanlah peristiwa yang mengganggu kita, melainkan penilaian kita terhadap peristiwa itu.” Stres bukanlah kemacetan itu sendiri, melainkan penilaian kita bahwa macet itu mengganggu atau membuang waktu.
Inilah inti self-care ala Stoik: Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control). Yaitu, melatih diri untuk mengendalikan hal-hal yang dapat kita kendalikan (pikiran, penilaian, tindakan), dan menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah (peristiwa eksternal, tindakan orang lain).
Ketika dunia modern mendefinisikan self-care sebagai “cara untuk merasa nyaman,” Stoikisme mengajarkan sebaliknya: self-care adalah latihan untuk menjadi kuat. Stoikisme mengajak kita memaknai self-care bukan sebagai self-indulgence (memanjakan diri), tetapi self-discipline (melatih diri). Ketenangan batin, bagi Stoik, adalah hasil kerja batin yang tekun, bukan hadiah dari luar.
Bagian 3: Dimensi Self-Care yang Lebih Dalam
Melalui kacamata Stoikisme, perawatan diri bertransformasi dari ritual tubuh menjadi latihan jiwa, berfokus pada ‘bagaimana kita hidup agar menjadi pribadi yang lebih baik’. Self-care sejati memiliki tiga dimensi utama yang saling terhubung: mental, emosional, dan spiritual.
- Self-Care Mental: Menjernihkan Pikiran Ketenangan berawal dari pikiran yang teratur, tidak didominasi oleh gelombang kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Bentuk latihannya meliputi:
- Journaling Reflektif: Menulis pikiran dan perasaan harian, seperti Marcus Aurelius menulis Meditations, menjadikan tulisan sebagai cermin kondisi batin.
- Latihan Mindfulness: Meluangkan waktu untuk hadir di momen saat ini, mengatur napas, agar pikiran tidak tersesat dalam penyesalan masa lalu atau kecemasan masa depan.
- Menata Pikiran dengan Logika: Menerapkan Dikotomi Kendali—bertanya apakah kekhawatiran itu dapat dikendalikan. Self-care mental adalah belajar hidup berdampingan dengan pikiran buruk tanpa kehilangan kendali.
- Self-Care Emosional: Merangkul Perasaan Self-care emosional adalah kemampuan untuk merangkul dan mengakui perasaan (sedih, marah, takut), bukan melawannya atau menyembunyikannya. Emosi yang ditolak akan menumpuk dan meluap.
- Pengenalan Diri: Seperti yang disarankan Seneca, kita harus mengenali amarah sebelum ia menular dan sulit disembuhkan.
- Memberi Izin Merasa: Mengizinkan diri untuk merasa sedih atau kecewa, lalu meresponsnya dengan nalar.
- Membuat Batasan (Boundaries): Belajar berkata “tidak” adalah bentuk cinta diri sendiri, mencegah energi terkuras.
- Empati pada Diri Sendiri: Berlaku welas asih terhadap diri sendiri, sama seperti kita berbelas kasih kepada orang lain. Self-care emosional adalah menyeimbangkan emosi agar tidak menguasai hidup.
- Self-Care Spiritual: Menemukan Makna Dimensi ini adalah fondasi ketahanan batin yang paling dalam. Spiritual bukan hanya tentang agama, melainkan hubungan kita dengan nilai, makna, dan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Marcus Aurelius menyebutnya sebagai hidup “selaras dengan alam dan akal.”
- Refleksi Harian: Bertanya sebelum tidur, “Apa pelajaran hidup yang dapat saya ambil hari ini?”
- Rasa Syukur: Menyadari dan mengingat hal-hal sederhana yang patut disyukuri.
- Keheningan: Doa, meditasi, atau keheningan murni untuk mendengarkan suara hati yang tenggelam dalam kebisingan dunia. Self-care spiritual mengajak kita untuk memberi makna pada apa yang kita alami, menghubungkan diri dengan moral, nilai, atau rasa kemanusiaan. Self-care sejati adalah sinkronisasi harmonis antara pikiran, perasaan, dan jiwa.
Bagian 4: Self-Care dan Kesehatan Mental di Dunia Modern
Di tengah dunia yang penuh distraksi, self-care ala Stoik menjadi penyeimbang vital untuk kesehatan mental. Dengan refleksi batin, kita membangun resiliensi, yaitu kemampuan untuk tetap tegak di tengah badai. Kegagalan dilihat sebagai pelajaran, kritik dilihat sebagai peluang perbaikan, dan kesepian digunakan sebagai ruang introspeksi.
Self-care dalam konteks ini adalah proses pemulihan berulang yang diimbangi dengan istirahat fisik, gizi seimbang, dan juga berpikir sehat, merasa sehat, dan memperlakukan diri dengan welas asih.
Salah satu sumber stres modern adalah ilusi tanpa batas—tuntutan untuk selalu “lebih” (lebih sukses, lebih cantik, lebih produktif). Stoikisme mengajarkan eudaimonia: kebahagiaan sejati yang muncul ketika kita hidup selaras dengan kebajikan dan menerima diri apa adanya.
Kesehatan mental yang kuat bukanlah hidup tanpa luka, melainkan memiliki ruang batin yang luas untuk menampung luka itu tanpa kehilangan harapan. Seperti kata Marcus Aurelius: “Ketenangan bukan berarti tidak ada badai, tetapi kemampuan untuk tetap tenang di tengah badai.” Self-care sejati adalah seni menyeimbangkan kecepatan luar dengan ketenangan dalam.
Bagian 5: Praktik Self-Care yang Bukan Sekadar Skincare
Untuk menjembatani teori dan praktik, lakukan langkah-langkah sederhana berikut:
- Dikotomi Kendali Praktis: Tuliskan tiga hal yang bisa dan tidak bisa kamu kendalikan setiap hari untuk memfokuskan energi.
- Refleksi Hening: Sediakan 10 menit tanpa gawai atau distraksi untuk merenung.
- Batasi Konsumsi Digital: Tahu kapan harus log out dari media sosial yang sering memperburuk perasaan tidak cukup.
- Rayakan Hal Kecil: Latih rasa syukur pada hal-hal sederhana: udara segar, secangkir teh, atau senyuman.
- Sinkronisasi: Rawat tubuh (skincare perlu), tapi jangan lupakan batin (journaling, doa, atau percakapan jujur dengan diri sendiri).
Penutup: Self-Care sebagai Seni Hidup
Self-care sejati bukan tentang menambah daftar belanja, melainkan membangun fondasi batin yang kokoh. Skincare membuat wajah bercahaya, namun refleksi dan kesadaran membuat hati bercahaya. Dengan memadukan semangat Stoikisme dan kesadaran modern akan kesehatan mental, kita memahami bahwa self-care adalah seni hidup: seni menerima, seni mengendalikan, dan seni menjaga keseimbangan. Jika kita mampu merawat diri secara mendalam, kita tidak hanya bertahan, tetapi mampu tumbuh, bahkan di tengah badai kehidupan.
[Penulis: Hestiyani Wulandari/ Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid]


