TERASBATAM.ID – Pengadilan Negeri (PN) Batam mengeluarkan putusan kontroversial pada 2 Juni 2025 lalu, yang mengabulkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) melawan Pemerintah RI cq Kejaksaan Agung cq Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau cq Kejaksaan Negeri Batam cq Jaksa Penuntut Umum (JPU). Putusan ini dianggap mencederai rasa keadilan dan menuai kritik keras dari kalangan akademisi maupun lembaga penegak hukum.
Gugatan perdata OMS (nomor 323/Pdt.G/2024/PN Btm) diajukan setelah adanya putusan pidana PN Batam yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang merampas Kapal MT Arman 114 beserta muatan Light Crude Oilsebanyak 166.975,36 metrik ton untuk negara. Kapal dan muatan minyak mentah ini diperkirakan bernilai lebih dari Rp 1 triliun.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kepulauan Riau, Teguh Subroto, menilai putusan PN Batam yang mengabulkan gugatan perdata OMS ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan keadilan.
“Hakim telah keliru, khilaf dan salah dalam menerapkan suatu hukum, sehingga kami telah menyatakan upaya hukum banding atas putusan tersebut pada tanggal 4 Juni 2025,” tegas Teguh Subroto. Ia yakin hukum dan keadilan akan menjadi panglima, dan putusan pengadilan tinggi akan mengoreksi putusan PN Batam tersebut.
Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, juga menilai putusan ini dapat menjadi preseden buruk. Pasalnya, dalam waktu berdekatan, dua majelis hakim di pengadilan yang sama menjatuhkan putusan yang saling bertolak belakang: satu dalam perkara pidana, satu lagi dalam perkara perdata, menyangkut objek yang sama.
“Ada masalah serius bila putusan perdata dijadikan alat untuk menegaskan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Agustinus Pohan. Menurutnya, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibanding putusan perdata. Oleh karena itu, setiap koreksi terhadap putusan pidana seharusnya dilakukan melalui jalur hukum pidana, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali, bukan melalui gugatan perdata.
Pohan menambahkan, jika hal ini dibiarkan, akan terbuka ruang manipulasi hasil putusan pidana lewat gugatan perdata, yang tentu tidak sehat bagi sistem peradilan. Ia juga menduga bahwa dugaan pencemaran laut oleh kapal MT Arman 114 bukan tindakan individu semata, melainkan bagian dari operasi korporasi. Ini merujuk pada tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Kalau Ocean Mark Shipping diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran,” pungkas Pohan. Ia juga mendorong aparat penegak hukum untuk tidak bersikap pasif dalam menangani kasus yang menyangkut kepentingan publik luas dan melaporkan dugaan integritas hakim kepada Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung jika ada indikasi putusan dipengaruhi kepentingan eksternal.
[kang ajang nurdin/pr]


