TERASBATAM.ID – Istilah “nonaktif” yang digunakan oleh Partai NasDem, PAN, dan Golkar untuk menonaktifkan sejumlah kader mereka di DPR dinilai sebagai akal-akalan politik. Menurut para pakar hukum tata negara, mekanisme tersebut tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menegaskan bahwa satu-satunya mekanisme yang dikenal dalam UU MD3 adalah pemberhentian melalui pergantian antarwaktu (PAW). “Ungkapan dari pimpinan partai politik bahwa anggotanya di-nonaktifkan hanyalah akal-akalan yang tidak didasarkan perundang-undangan,” kata Yance. Ia menambahkan, jika partai serius, mereka seharusnya mencabut keanggotaan dan mengajukan PAW.
Senada dengan Yance, Titi Anggraini, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, menyebut bahwa langkah penonaktifan kader di DPR hanyalah kebijakan internal partai. Ia menjelaskan bahwa proses PAW diatur dalam Pasal 239 UU MD3, yang dimulai dengan usulan partai kepada pimpinan DPR, lalu diteruskan ke presiden.
Sementara itu, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah berpendapat bahwa istilah penonaktifan tidak bisa disamakan dengan pemberhentian sementara. Menurutnya, pemberhentian sementara hanya dapat dilakukan jika seorang anggota DPR berstatus terdakwa dalam kasus pidana. “Masalahnya, ini tidak lahir dari otoritas partai politik. Jadi, tidak bisa partai tiba-tiba memberhentikan sementara kepada DPR,” ujarnya.
Tiga partai politik—NasDem, PAN, dan Golkar—telah menonaktifkan sejumlah kadernya, di antaranya Ahmad Sahroni (NasDem), Nafa Urbach (Nasdem), Eko Patrio (PAN), Uya Kuya (PAN), dan Adies Kadir (Golkar). Keputusan ini diambil setelah mereka mendapat kritik keras dari publik, terutama terkait pernyataan dan tindakan yang dinilai tidak pantas di tengah gelombang protes masyarakat. (sumber: www.tempo.co)


