TerasBatam.id: Ratusan pengungsi Afghanistan di Batam kembali berunjukrasa di depan Kantor Walikota Batam, Rabu (01/12/2021) meminta perhatian dunia internasional terhadap kelangsungan hidup mereka. Harapan para pengungsi terhadap United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) telah pupus.
Salah satu pemimpin aksi unjukrasa Ali Akbar (28) mengatakan, dirinya bersama sekitar 500 orang pengungsi Afghanistan di Batam tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan kini secara psikologis merasa tertekan selama di pengungsian karena harapan untuk tinggal di Negara tujuan tidak juga terwujud.
“Kami akan terus melakukan aksi unjuk rasa selama belum di tanggapi UNHCR. Harapan kami saat ini minta perhatian dunia internasional, ” kata Ali Akbar saat aksi unjukrasa.
Aksi unjukrasa yang dilakukan oleh para pengungsi Afghanistan di Batam merupakan yang keempat kalinya, pertama kali aksi mereka lakukan di depan Gedung DPRD Kota Batam dan diterima secara resmi oleh Komisi I DPRD Batam yang dipimpin oleh Budi Mardiyanto.
Saat menerima perwakilan para pengungsi, Budi Mardiyanto berjanji akan membawa masalah ini kepada pihak terkait, terutama dengan International Organization for Migration (IOM) dan pihak Imigrasi.
Namun hingga kini hasil pembahasan tersebut tidak diketahui.
UNHCR sendiri merupakan organisasi internasional yang mandat utamanya yaitu memberikan perlindungan serta memberikan bantuan berupa pemenuhan kebutuhan dasar bagi pencari suaka dan pengungsi bekerja sama dengan beberapa mitra.
Ali mengungkapkan, para Imigran yang mengungsi di Batam berjumlah sekitar 500 orang, sebagian besar telah tinggal di pengungsian yang tersebar di sejumlah tempat selama 10 tahun, namun tidak kunjung ada kepastian.
Banyak dari para pengungsi yang mengalami depresi dan ingin mengakhiri hidupnya saat berada di Rumah Detensi.
“Kami sudah cukup lama disini. Ada yang sudah sekitar 10 Tahun belum ada kepastian pemindahan kami juga. Ini sudah banyak yang terganggu mental lalu bunuh dirinya,” kata Ali.
Hal yang sama disampaikan pengungsi Afghanistan yang lain, Fatimah (30) yang memiliki dua orang anak, kini dirinya mengaku kesulitan untuk memberikan pendidikan terhadap ke dua anaknya terutama yang paling besar yang usianya menginjak 9 tahun.
” Kini anak – anak kami tidak lagi bisa belajar, karena tekanan Psikologis,” kata Fatimah.
Menurut Fatimah, sebelumnya anak-anaknya mendapatkan pendidikan melalui program Home Schooling di Shelter yang berada di Hotel Kolekta, dengan tenaga pengajar dari para pengungsi juga, namun kini sudah tidak berjalan lagi.
Berdasarkan catatan para pengungsi, terdapat 119 anak dari para pengungsi yang tidak mendapatkan pendidikan formal karena masalah status kewarganegaraan.
“anak -anak pengungsi kami memang dipersilahkan untuk mengikuti proses belajar di sekolah tinkat dasar di salah satu Sekolah swasta di Batam namun proses belajar tanpa surat atau tidak resmi,” kata Fatimah dengan miris.


