TERASBATAM.ID – Sebanyak 24 jurnalis dari berbagai media di Batam mengikuti Capacity Building Kehumasan Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) di Hotel Ayana Mid Plaza, Jakarta. Pada hari kedua kegiatan ini, Kamis (30/07/2025) fokus pembelajaran diarahkan pada bagaimana mengubah data ekonomi yang kering menjadi narasi yang mudah dipahami dan menarik bagi publik.
Acara dibuka oleh perwakilan Tempo Institute yang memperkenalkan Muhammad Taufiqurohman, atau akrab disapa MTQ, seorang wartawan senior Tempo yang juga mantan Direktur Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT). MTQ, yang dikenal handal dalam berita ekonomi dan bisnis, menyampaikan metodologi blended learning yang diterapkan.
“Teman-teman nanti pas misalnya paparan nih ada yang ingin ditanyakan langsung saja tanya bisa seperti itu, jadi tidak usah menunggu di tanya jawab karena kita bersifat interaktif,” kata moderator yang mendampingi MTQ.
Sesi ini juga mencakup praktik menulis narasi data dan diskusi kelompok untuk mengoptimalkan kemampuan jurnalis dalam menarasikan data.
Sebelumnya, Andik Afrinaldi, Asisten Direktur BI dan Ketua Tim acara, turut menyampaikan pentingnya kolaborasi antara Bank Indonesia, pemerintah daerah, dan media.
“Apapun yang kita lakukan, kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi dari Bank Indonesia maupun dari pemerintah daerah tidak akan optimal tanpa ada peran dari Bapak Ibu media,” ujar Andik.

Ia menambahkan, peran media sangat krusial dalam melawan hoaks dan misinformasi, yang dapat menghambat pencapaian target kebijakan ekonomi.
“Dengan ada kegiatan ini, harapannya nanti ke depan akan meningkatkan semakin memperkuat pemahaman Bapak-Ibu media agar nanti kebijakan yang dikeluarkan akan lebih baik lagi.”
Andik juga menyoroti potensi ekonomi Kepri, khususnya peran UMKM dalam ekspor mengingat posisi strategis Kepri sebagai gerbang internasional. Ia berharap kegiatan ini dapat mengoptimalkan kemampuan media dalam menyajikan informasi ekonomi yang akurat dan berdampak positif bagi perekonomian Kepri dan Indonesia secara keseluruhan.
Strategi Visualisasi dan Narasi Data ala Tempo
Sesi utama dalam capacity building ini Muhammad Taufiqurohman (MTQ) membedah pentingnya visualisasi dan storytelling dalam jurnalisme data. Ia mengawali dengan riset di Amerika yang menunjukkan bahwa orang cenderung lebih mengingat cerita (63%) dibandingkan data faktual (95% tidak ingat).
“Data ekonomi itu selalu kering, bikin bosan,” kata MTQ, menekankan perlunya visualisasi untuk membuat informasi lebih sederhana dan mudah dipahami.
MTQ mencontohkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang seringkali sulit dicerna masyarakat awam. “Kalau ada kata indeks, itu selalu merujuk angka 100,” jelasnya, mengilustrasikan bagaimana angka 104,85 pada IHK Kepri di Juli 2024 yang menunjukkan inflasi 2,81% di bawah target nasional, bisa disederhanakan melalui grafik.
Ia menjelaskan bahwa visualisasi data dapat berupa tabel, grafik, atau infografik. Grafik lebih informatif karena langsung menunjukkan tren, sementara infografik memberikan informasi yang jauh lebih kaya dan kontekstual, seperti yang ia contohkan pada analisis Undang-Undang Cipta Kerja yang menunjukkan kerugian bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp 10 juta.
“Data itu gak cukup, kita mau bikin story,” tegas MTQ. Ia memperlihatkan bagaimana data pertumbuhan PDB negara-negara ASEAN di kuartal III 2020 dapat diubah menjadi narasi kuat. Dari grafik, terlihat jelas Vietnam menjadi satu-satunya negara yang tumbuh positif selama pandemi COVID-19, sementara Filipina menjadi yang paling menderita dengan pertumbuhan minus 9,5%.
MTQ juga menggunakan grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2004-2024 sebagai studi kasus. Ia mengidentifikasi beberapa narasi yang bisa muncul dari satu grafik:
- Keterpurukan Ekonomi: “Ekonomi Indonesia terjun bebas di 2020,” akibat pandemi COVID-19.
- Pemulihan: Ekonomi mulai bertumbuh kembali di tahun 2022.
- Stagnasi vs. Konsistensi: Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang konsisten di angka 5% selama 20 tahun terakhir bisa diartikan stagnasi atau stabilitas, tergantung perspektif. Ia juga menyoroti penurunan tajam di 2008/2009 akibat krisis subprime mortgage di AS, menunjukkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak global.
Menurut MTQ, ekspektasi masyarakat sangat penting dalam perekonomian. Jika masyarakat menahan uang karena ekspektasi ekonomi memburuk, maka konsumsi akan turun, permintaan industri berkurang, produksi menurun, dan berujung pada pengurangan tenaga kerja. Ia juga menyinggung kebijakan penurunan suku bunga BI, yang secara teori mendorong investasi dan konsumsi, namun realitanya di masyarakat bisa berbeda.
“Masyarakat kita mungkin sekarang tidak punya banyak duit,” ujarnya, merujuk pada data LPS yang menunjukkan banyaknya tabungan di bawah Rp 1 juta. Ia mengamati kontras antara keramaian di pusat perbelanjaan elit dengan pasar-pasar tradisional yang sepi, mencerminkan adanya kesenjangan ekonomi. “Inflasi itu perlu rendah atau perlu tinggi? Kalau terlalu tinggi bikin mahal orang ekonomi stagnan juga. Tapi kalau inflasinya terlalu rendah, gak bagus juga,” imbuhnya, menegaskan target inflasi BI di 2,5% plus minus 1% sebagai keseimbangan.
MTQ menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi minimal 6,5% adalah angka yang pernah dicapai Indonesia dan realistis, bukan target ambisius 8% seperti yang diimpikan.
“Intinya adalah dari data ke grafik baru kemudian narasi,” pungkasnya, mendorong jurnalis untuk melakukan riset mendalam dan membaca laporan secara cermat untuk menemukan narasi yang kuat di balik angka.


