TERASBATAM.ID – Sidang terhadap Yusril Koto di Pengadilan Negeri Batam menjadi cermin buram penegakan hukum yang belum sepenuhnya berpihak pada kebebasan berekspresi. Yusril, seorang aktivis sosial, dijerat hukum karena unggahan video di media sosial yang menyoroti dugaan pelanggaran etika oleh aparatur negara. Ia telah menjalani enam bulan penahanan, meski niatnya adalah menyampaikan kritik terhadap praktik yang dianggap menyimpang.
Dalam negara demokratis, kritik terhadap pejabat publik bukanlah pelanggaran, melainkan hak konstitusional warga. Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa pejabat publik tidak boleh antikritik. Maka, ketika kritik dibalas dengan kriminalisasi, demokrasi sedang dirundung krisis.
Sidang ini juga mengungkap fakta bahwa perdamaian telah terjadi antara pelapor dan terdakwa. Namun, proses hukum tetap berjalan, seolah mengabaikan semangat restoratif yang seharusnya menjadi jalan utama dalam perkara semacam ini. Penegak hukum perlu lebih bijak dan proporsional dalam menilai konteks sosial dari sebuah tindakan.
Lebih jauh, kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan integritas aparatur sipil negara. Ketika seorang ASN justru diduga melindungi pelanggaran, dan kritik terhadapnya dibungkam, maka publik berhak untuk bertanya: di mana posisi negara dalam menjaga keadilan?
Yusril Koto mungkin hanya satu dari sekian banyak warga yang berani bersuara. Tapi nasibnya menjadi penanda bahwa ruang kritik masih rentan dibatasi. Kita tidak boleh membiarkan demokrasi dikerdilkan oleh ketakutan dan pembungkaman. Kritik sosial bukan kejahatan. Ia adalah fondasi dari masyarakat yang sehat dan pemerintahan yang bertanggung jawab.


