TERASBATAM.ID – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera memprioritaskan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Amandemen regulasi ini dinilai mendesak dan strategis untuk menjawab tantangan baru di era ekonomi digital, terutama dalam mencegah fenomena algorithmic collusion atau kolusi algoritma.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI kemarin (06/11/2025), Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa menekankan bahwa instrumen hukum lama tidak lagi mampu menjangkau bentuk-bentuk dominasi pasar modern.
Tiga Tantangan Digital
Menurut Ketua KPPU, dominasi pasar baru yang kini muncul mencakup:
- Penyalahgunaan data pengguna.
- Diskriminasi algoritmik.
- Praktik predatory pricing berbasis kecerdasan buatan (AI).
Kolusi algoritma menjadi tantangan terbesar karena dapat terjadi tanpa kesepakatan eksplisit antarpelaku usaha. “Sistem harga otomatis saling menyesuaikan melalui pemantauan algoritmik. Akibatnya harga pasar bisa seragam tanpa ada pertemuan, dan ini sulit dibuktikan secara hukum,” jelas Fanshurullah Asa.
KPPU khawatir, tanpa reformasi hukum yang adaptif, potensi penyalahgunaan data dan algoritma dapat menimbulkan ketimpangan pasar, menghambat inovasi, dan mengunci konsumen dalam ekosistem digital yang monopolistik.
Penguatan Bukti dan Kelembagaan
Untuk mengatasi hal tersebut, KPPU mengusulkan beberapa penguatan:
- Perluasan Definisi Pasar: Memperluas definisi “pasar bersangkutan” atau “penyalahgunaan posisi dominan” agar mencakup dominasi berbasis data dan algoritma.
- Bukti Tidak Langsung: Mendorong pengakuan terhadap indirect evidence atau bukti tidak langsung berupa data ekonomi dan komunikasi digital untuk memperkuat sistem pembuktian.
Selain aspek pasar digital, KPPU juga mendorong amandemen untuk menguatkan struktur kelembagaan, termasuk pemisahan fungsi administratif dan fungsional, serta pembentukan kantor perwakilan di tingkat provinsi. Langkah ini bertujuan membuat penegakan hukum lebih merata, responsif, dan sesuai dengan dinamika ekonomi daerah.
“Pembaruan UU ini bukan semata kepentingan kelembagaan, melainkan kebutuhan nasional agar Indonesia siap menghadapi tantangan ekonomi digital global,” tutup Fanshurullah Asa.


