TERASBATAM.ID – Ruang sidang Pengadilan Negeri Batam, Kamis (06/11/2025), diselimuti keheningan saat seorang perempuan muda berdiri dengan tubuh bergetar. Ia adalah Intan Tuwa Negu (22), asisten rumah tangga (ART) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban penganiayaan keji majikannya di perumahan elite Sukajadi.
Dengan dipimpin Majelis Hakim Andi Bayu, bersama Hakim Anggota Douglas Napitupulu dan Diana Puspita Sari, sidang hari itu mendengarkan kesaksian Intan. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya mengurai kisah penderitaan panjang sejak tiba di Batam pada Juni 2024.
Intan, yang datang dengan harapan mencari nafkah, justru mendapatkan penyiksaan dari Roslina (majikan) dan Merliyati (sepupu korban). Tugasnya adalah membersihkan rumah dan menjaga 16 ekor anjing peliharaan majikan, dengan janji gaji Rp1,8 juta per bulan.
Hidup dalam ‘Buku Dosa’
Selama berbulan-bulan, Intan hidup dalam isolasi. Ponselnya disita, ia dilarang keluar rumah, dan hanya diizinkan tidur empat jam setiap malam, mulai jam 12 malam hingga bangun subuh.
“Kalau telat bangun, rambut saya dijambak, kepala dibenturkan ke tembok,” tutur Intan.
Kekerasan fisik kerap datang tanpa sebab. “Anjing berantem pun saya yang disalahkan,” katanya sambil menahan tangis. Setiap kesalahan dicatat dalam sebuah buku kecil yang mereka sebut ‘buku dosa’, yang berujung pada pemotongan gaji.
Intan mengaku pernah dipukul Merliyati dan Roslina. Puncak kekejaman terjadi saat ia mengaku pernah diancam dengan pisau dan dipaksa memakan kotoran anjing. Ia juga dipaksa makan terpisah karena dianggap menjijikkan.
“Saya nggak bisa lari, semua pintu dikunci dari dalam,” isaknya. Intan mengaku diancam akan dilaporkan ke polisi jika berani kabur.
Kisah semakin pilu ketika Intan bersaksi bahwa Roslina diduga menyuruh Merliyati untuk menghabisi nyawanya. “Roslina bilang, kamu harus kasih mati anjing itu—maksudnya saya,” kata Intan menunduk.
Maaf dan Harapan Keadilan
Suasana tegang kerap kali membuat majelis hakim menghentikan sidang untuk menenangkan Intan yang menangis keras, terutama saat menunjukkan luka-luka di kepala dan tangan.
Namun, di akhir kesaksiannya, gadis asal NTT itu menunjukkan ketegaran. “Saya sudah maafkan Merliyati, karena dia saudara saya. Tapi biarlah hukum yang berjalan,” katanya.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa kedua terdakwa dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juncto Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya bisa mencapai 10 tahun penjara atau lebih.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan. Bagi Intan, proses hukum ini bukan sekadar mencari keadilan, melainkan perjuangan memulihkan martabat.
“Yang saya mau cuma hidup tenang,” ujarnya sebelum meninggalkan ruang sidang.
[kang ajank nurdin]


