TERASBATAM.id – Model diplomasi yang dipertontonkan Donald Trump, sang Presiden Amerika Serikat, menimbulkan perdebatan menarik. Alih-alih mengedepankan negosiasi rasional dan terukur, Trump kerap menunjukkan manuver yang menyerupai perilaku “merajok”.
Namun, di balik kesan kekanak-kanakan tersebut, tersembunyi sebuah strategi yang tampaknya diperhitungkan. Peristiwa-peristiwa diplomatik yang melibatkan Trump seolah menegaskan bahwa “merajuk” bukanlah sekadar luapan emosi sesaat, melainkan sebuah taktik untuk mendapatkan perhatian dan konsesi.
Dalam konteks diplomasi internasional, perilaku “merajuk” ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk mengganggu stabilitas dan menciptakan ketidakpastian. Dengan demikian, pihak lawan dipaksa untuk memberikan perhatian ekstra dan berusaha “membujuk” agar situasi kembali kondusif.
Analogi “kita semua adalah anak-anak” mungkin terdengar sinis, namun mengandung kebenaran bahwa dalam interaksi antarnegara sekalipun, emosi dan ego seringkali memainkan peran penting. Apalagi jika interaksi tersebut terjadi di ruang tertutup, yang memungkinkan ekspresi emosi lebih bebas dan intens.
Konteks ruang tertutup dan kedap suara menjadi krusial dalam memahami dinamika diplomasi ala Trump. Di ruang semacam itu, ekspresi emosi dan manuver psikologis dapat dilakukan tanpa khawatir terekspos ke publik. Hal ini memungkinkan Trump untuk memaksimalkan efek “merajuk” sebagai alat negosiasi, dengan harapan pihak lawan akan merasa tertekan dan bersedia memberikan konsesi. Dengan demikian, model diplomasi ini, meskipun kontroversial, menunjukkan bahwa dalam politik internasional, segala cara dapat digunakan untuk mencapai tujuan.
Maka sering-seringlah merajok biar dikira Trump!


